Total Tayangan Halaman

Jumat, 23 Maret 2012

BM Itu Milik Siapa?

Setelah selesai shalat maghrib aku langsung pergi ke warung hik yang ada di pinggir jalan Ir. Soetami. Lebih tepatnya di seberang TBJT (Taman Budaya Jawa Tengah). Di warung hik itu aku makan mie rebus, nasi kucing dan 3 gorengan: 2 tahu isi, 1 pisang goreng.
Sedang enak-enaknya makan, tiba-tiba terdengar suara sirine yang cukup keras. Dari arah timur muncullah sebuah motor besar berwarna putih dengan tulisan “BM” di kaca depan motor tersebut. Ternyata suara sirine berasal dari motor BM yang dikendarai oleh seorang polisi, pada awalnya aku kira suara sirine ambulance.
Agak jauh di belakang motor BM yang paling depan, ternyata masih ada dua motor “Kebo Putih” dan tepat di belakang dua motor besar pengawal yang dikendarai oleh masing-masing orang berseragam cokelat, banyak sekali motor besar jenis “Ninja”. Ada yang dua tak, tapi tidak sedikit yang sudah empat tak.
Menurut berita yang saya dengar, komunitas Ninja sedang merayakan ulang tahun yang ketiga. Entah darimana, mereka beriringan di jalan dengan dikawal oleh polisi. Polisi dengan motor BM yang paling depan mengendarai motornya sambil tangan kirinya memberikan aba-aba kepada pengendara lain untuk minggir.
Jujur, buat saya pribadi hal tersebut sangatlah mengganggu karena “memakan” hak orang lain dalam menggunakan jalan raya. Saya juga dibuat kaget dengan ulah salah satu penunggang motor Kawasaki Ninja. Penunggang tersebut berjenis kelamin perempuan -dilihat dari pakaian dan rambutnya yang panjang- yang dibonceng oleh seorang pria. Perempuan itu tidak mamakai helm.
Kita tahu apabila ada orang yang naik motor, baik itu pengendara maupaun dibonceng, adalah sebuah kesalahan dan melanggar peraturan lalulintas kalau orang tersebut tidak menggunakan helm. Tapi, mengapa dalam kejadian yang saya lihat tadi pak polisi malah mengawal orang yang bersalah? Apakah karena pak polisi dibayar oleh komunitas tersebut sehingga tidak menilang orang yang bersalah dan justru malah mengawal?
Kalau benar seperti itu, terus BM yang mempunyai fasilitas motor besar yang berguna untuk mengawal itu milik siapa? Dilihat dari semboyan Polri “Melayani dan Melindungi Masyarakat,” benarkah BM itu milik masyarakat? Atau milik orang yang berani membayarnya? Tak taulah! Yang terpenting, sebagai warga negara saya hanya ingin mendapatkan hak yang sama dengan warga negara lainnya. Toh kita sama-sama bayar pajak. Iya nggak???

Kamis, 22 Maret 2012

Silahkan Korupsi, Itu Hak Anda


Berawal dari pemanggilan yang dilakukan oleh pihak Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret kepada para mahasiswanya dari angkatan 2005, 2006, dan 2007 yang belum lulus. Mereka dikumpulkan dalam ruangan lab jurusan yang baru. Tapi, sangat disayangkan, ternyata tidak semua mahasiswa yang dipanggil hadir semua, hanya 11 orang yang hadir itupun kebanyakan dari angkatan 2007. Angkatan 2006 hanya 1 orang, dan 2005 yang dipanggil sama sekali tidak ada yang hadir.
Di dalam lab sejarah yang baru tersebut terdapat 4 meja panjang yang ditata membentuk kotak. Di belakang meja ditaruh kursi. Kami para mahasiswa yang hadir duduk di kursi bagaikan pesakitan yang siap disidang oleh ibu Kajur (Kepala Jurusan). Oh ya, dari pihak jurusan ternyata cuma ibu kajur sendirian, beliau tidak ditemani oleh siapapun, termasuk oleh ibu sekjur.
Para mahasiswa diwajibkan mengisi buku hadir. Di buku itu terdapat beberapa kolom yang harus diisi. Pertama kolom nomor, nama, alamat kos/rumah, alamat orang tua dan nomor orang tua, capaian sks, PA, dosen pembimbing skripsi, konsultasi skripsi, dan kolom terakhir berisi paraf. Ada sebuah kejadian menarik. Pada kolom alamat orang tua dan nomor orang tua, tidak satu pun yang mengisi alamat orang tua, dan nomor orang tua yang ditulis, sebagian mahasiswa menuliskan nomor sendiri atau temannya. Hanya segelintir yang benar-benar menuliskan nomor orang tua.
Setelah semua selesai mengisi buku hadir, mulailah acara inti. Acara intinya adalah pengarahan dari ibu kajur. Kayaknya saya tidak perlu menuliskan apa saja yang disampaikan oleh ibu kajur, mungkin hanya garis besarnya saja. Belaiau hanya ingin mahasiswa dari angkatan 2005, 2006 dan 2007 untuk serius dalam belajar supaya cepat lulus dengan nilai yang memuaskan. Karena jumlah rata-rata kelulusan mahasiswa tiap tahunnya akan mempengaruhi akreditasi jurusan. Kebetulan saat ini jurusan Ilmu Sejarah mendapatkan kareditasi A.
Acara inti selesai. Dilanjutkan dengan tanya jawab dan ngobrol bebas. Tiba-tiba salah satu teman saya ada yang nyeletuk “sesuk nek wis lulus korupsi ae,” kami semua tertawa lepas mendengar celetukan tersebut, termasuk saya. Tapi, ada satu hal yang membuat saya tersentak kaget. Tanggapan dari ibu kajur, beliau mengatakan “silahkan korupsi, itu hak anda.”
Terserah alumni mau berbuat apa, toh mereka sudah menjadi alumni. Bukan bagian dari universitas. Mungkin itulah yang dikatakan oleh pihak universitas apabila ada alumninya yang tertangkap tangan berbuat tindakan tidak terpuji. Ibu kajur saja yang berhadapan langsung dengan mahasiswa bisa berkata seperti itu, bagaimana dengan atasan beliau, lihat saja Dekan atau Rektor yang sangat jarang bertatapan dengan mahasiswanya secara langsung?    

Sabtu, 17 Maret 2012

Single vs Jomblo


“Jomblo, ora malmingan?”
Secara mengejutkan ada salah satu teman saya mengirimi pesan chatingan di facebook. Dia memanggil saya dengan sebutan jomblo. Menganggap semua orang yang tidak punya pacar adalah jomblo. Anda salah besar, bung! Walaupun saya tidak punya pacar, tapi saya bukan jomblo. Saya single!
Banyak orang menganggap bahwa yang namanya tidak punya pacar adalah jomblo. Padahal salah! Kalau kita telusuri lebih jauh, yang namanya jomblo adalah mereka yang tidak punya pacar karena belum “laku”. Dan mereka yang masih jomblo (belum laku) selalu berusaha mencari pacar dengan cara bagaimanapun, agar status jomblo tidak lagi melekat dalam diri mereka. Bagi para jomblo’ers, tidak mempunyai pacar adalah aib, malu apabila bertemu dengan teman-temannya yang sudah memiliki pacar.
Tapi, pantang bagi saya untuk malu ketika bertemu dengan teman-teman yang sudah mempunyai pacar, karena saya bukanlah jomblo. Saya single! Sudah saya sebutkan di atas, bahwa yang namanya jomblo adalah mereka yang tidak mempunyai pacar karena tidak laku. Sedangkan single, mereka yang tidak mempunyai pacar karena prinsip. Kenapa saya tidak punya pacar? Saya sebutkan lagi, saya single! Prinsip saya adalah: saya tidak akan berpacaran, karena berpacaran adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan (Al Isra: 32). Kalau saya sudah siap, menikah adalah jalan terbaik. Dan tidak lupa setelah itu saya akan merasakan nikmatnya pacaran bersama istri tercinta.

Jumat, 02 Maret 2012

Logat Ngapak Hilang Dariku?


Seperti biasa, pagi hari aku harus sudah berada Museum Radya Pustaka (RP). Museum yang terletak di tengah Kota Solo tersebut buka pada jam 08.30. Tapi, jam 08.00 aku sudah sampai di Museum RP. Terang saja museum belum buka, dan petugas yang bertugas membuka pintu museum yang bernama mas Fajar belum membuka pintu apalagi duduk di loket tempat menjual tiket masuk.
Sesampainya di museum aku hanya bertemu dengan seorang bapak penjaga parkir museum yang juga bertugas sebagai tukang sapu (tukang bersih-bersih) museum di pagi hari. Kenapa saya menyebutnya sebagai “tukang bersih-bersih museum di pagi hari”? Karena siang harinya sudah ada petugas lainnya bernama pak Kancil. Jadi, bapak yang bertugas bersih-bersih di pagi hari itu setelah selesai membersihkan bagian luar museum berubah tugas menjadi penjaga parkiran.  
Sambil menunggu yang lainnya datang aku nongkrong bersama pak Bagyo. Ngalor-ngidul percakapan antara aku dan pak Bagyo. Tiba-tiba beliau bertanya darimana aku berasal. Aku jawab kalau saya berasal dari Kebumen. Wajah pak Bagyo terlihat terkejut mendengar jawabanku. Aku menjadi bertanya-tanya dalam hati mengapa pak Bagyo terlihat terkejut mendengar jawaban aku.
“Asli Kebumen kok nggak nagapak, mas?”
“hehehe...” Aku hanya menjawab pertanyaan pak Bagyo dengan senyuman.
“Lha situ lahir di Kebumen, tapi besar di Solo pasti ya?” Pria paruh baya itu menebak dengan amat yakin.
“Saya sejak lahir sampai SMA di Kebumen, pak.”
“Lho kok bisa?”
“Mungkin sudah lama di Solo”
“Sudah berapa tahun di Solo?”
“Lima tahun, pak”
“Saya kira lama atau tidaknya tinggal di Solo tidak akan menghilangkan seutuhnya logat seseorang. Dulu ada seorang pegawai museum berasal dari Tegal yang sudah tinggal di Solo lebih dari lima tahun logatnya juga masih kelihatan kalau dia bukan orang Solo.”
“Hehehe...” Lagi, aku tersenyum mendengar pernyataan pak Bagyo.
Apakah benar saya sudah kehilangan logat asli saya, logat ngapak?? Sebagai rumpun ngapak sebenarnya saya tidak mau kehilangan “identitas” diri. Akan aku jaga terus “identitas” yang sudah menempel sejak lahir. Namun, ada sesuatu yang membuatku heran. Mengapa aku bisa berbicara dengan logat layaknya orang Solo? Apakah ini pertanda kalau aku akan mendapatkan jodoh orang Solo Raya (bisa Surakarta, Karanganyar, Sragen, Sukoharjo, Boyolali, atau Klaten)?? Hahaha...
Wallahu a’lam

*Percakapan sebenarnya menggunakan bahasa jawa. Dalam tulisan di atas sudah ditranselit menjadi bahasa Indonesia.