Total Tayangan Halaman

Rabu, 25 April 2012

Pelayanan Kesehatan Yang Setengah-setengah


Berawal dari perut yang merasakan sakit luar biasa. Entah mengapa, perut ini rasanya seperti dipelintir. Bukan karena belum makan sehingga membuat perutku terasa sakit. Padahal saya sudah makan walau hanya dengan lotek dan lontong. Bukan pula karena mencret yang bisa membuat orang bolak-balik wc karena selalu ingin buar air besar. Justru sebaliknya, saya tidak ada keinginan ke wc.
Sudah beberapa hari ini saya susah buang air besar. Pencernaan terganggu. Inilah yang membuat perut terasa seperti ditinju oleh Mike Tyson. Pada saat mencapai puncak sakit, seluruh badan berkeringat karena menahan rasa sakit yang luar biasa, bahkan ingin rasanya pingsan.
Saya tidak tertarik untuk berobat ke rumah sakit atau puskesmas. Saya beranggapan sakit yang saya derita hanyalah sakit ringan yang sedikit menggangu pencernaan. Mungkin dengan mengubah pola makan bisa membuat pencernaan saya kembali sehat. Kurangnya makanan berserat tinggi yang masuk dalam perut salah satu penyebabnya dan porsi makan yang melampaui batas normal manusia juga menjadi penyebab berikutnya.
Akhirnya saya mengurangi porsi makan, dari yang biasanya 3x sehari menjadi 2x sehari. Dari “porsi kuli” menjadi porsi orang yang tidak doyan makan, alias sedikit banget. Makanan berserat tinggi juga semakin banyak menghujani perut. Sarapan dihilangkan. Makan siang yang biasanya nasi, sayur dan lauk pauk dengan porsi jumbo berubah menjadi, lotek, lontong dan telor. Kadang makan siang hanya buah-buahan (lotis tanpa sambal). Untuk makan malam diubah menjadi makan sore yang hanya 3 bungkus nasi kucing dengan 2 atau 4 gorengan.
Apa yang terjadi? Ternyata pola makan yang telah dirubah belum juga membuahkan hasil. Mau tidak mau saya menyerah. Dengan diantar oleh seorang teman, saya menuju Medical Centre UNS (MC UNS). Di sana saya diperiksa oleh seorang dokter wanita yang masih muda. Kira-kira masih berumur 30-an.
Selayaknya dokter pada umumnya yang sedang memeriksa pasien, dokter wanita tersebut bertanya macam-macam tentang keluhan yang saya rasakan. Setelah mendengar keluhan saya, dokter tersebut menulis sebuah resep. Belum selesai menulis resep, sang dokter bertanya kepada perawat yang mendampinginya, “mas, di sini ada Dulcolax?” Perawat itu menawab “Di sini nggak ada.”
Selesai menulis resep, dokter cantik itu memberikan resep obat ke saya yang selanjutkan diserahkan ke apotek MC UNS. Saat memberikan resep obat ke saya, dokter wanita yang tadi memeriksa saya berkata, “Dik, nanti jangan lupa beli Dulcolax di apotek ya.” Saya hanya mengangguk sambil tersenyum kecut. Hehe.
Benarkah, kampus yang katanya World Class University ini, yang mempunyai Medical Centre sebagai pusat layanan kesehatan bagi dosen, karyawan, dan mahasiswa UNS tidak mempunyai tempat pelayanan kesehatan yang cukup memadai? Bahkan untuk menyediakan Dulcolax saja tidak bisa.

Selasa, 24 April 2012

Aktifis Dakwah Kok Gitu?


Setiap orang pasti mempunyai persepsi yang sama apabila mereka mendengar kata aktifis dakwah. Aktifis yang bergerak dalam bidang dakwah Islam. Banyak orang juga akan beranggapan bahwa yang namanya aktifis dakwah adalah orang yang pandai dalam ilmu agama, baik hati, supel, tidak sombong, dan tidak suka menyinggung perasaan orang lain. Tapi, apa yang terjadi apabila ada seorang oknum aktifis dakwah yang tidak memenuhi kriteria di atas? Tidak ada salahnya memang apabila ada oknum aktifis dakwah yang tidak memenuhi kriteria di atas. Mungkin sudah menjadi bawaan orang tersebut yang belum bisa dihilangkan dari dalam dirinya. Dan itu menjadi tanggungjawab bersama untuk memperbaiki para calon pemimpin umat.
Saya menulis tulisan ini karena mengalami sebuah peristiwa yang mencengangkan pada hari Sabtu (21/4/2012) kemarin di Masjid kampus. Pada waktu itu saya sedang ada acara di FKIP yang kebetulan gedungnya berdekatan dengan masjid kampus. Saat jam istirahat acara, yaitu ketika waktu dzuhur, para peserta dan panitia bersama-sama melaksanakan sholat dzuhur di Masjid kampus. Setelah mengambil air wudhu dan hendak masuk ke dalam Masjid saya bertemu teman lama di serambi masjid. Kami bertatapan cukup lama dalam jarak tidak begitu jauh. Saya berjalan mendekatinya dengan bibir tersenyum. Saya kaget, dia sama sekali tidak membalas senyum saya, bahkan tidak mengucapakan salam, sehingga saya harus mengucapkan salam terlebih dahulu.
Akhirnya dia menjawab salam saya dengan sedikit tersenyum. Namun, dengan tiba-tiba dia membuka percakapan dengan pertanyaan yang sangat tidak menyenangkan.
“Kok masih di kampus?” dengan senyum sinis seolah-olah mengejek.
Mak Jegleeerrr...!!! Saya benar-benar kaget mendapat pertanyaan seperti itu. Tidak menyangka akan mendapat pertanyaan dengan nada menyinggung. Sebagai teman lama yang sudah lama tidak bertemu awalnya saya menduga dia akan bertanya tentang kabar saya. Tapi kentyataannya? Terbalik seratus delapan puluh derajat. Saya jadi bertanya-tanya dalam hati: Seperti inikah perilaku aktifis dakwah? Apabila ada orang awam yang ingin semakin mendekat dengan Islam dan mengetahui ada oknum aktifis dakwah yang kurang bisa menjaga perkataannya, bagaimana jadinya jalan dakwah Islam?
“Tadi ada acara di FKIP. Lha koe sendiri ngapain masih di kampus?” saya menjawab pertanyaan sekaligus balik bertanya kepada teman yang menjadi aktifis dakwah dan pengajar salah satu pesantren mahasiswa di belakang kampus.
Teman saya itu tidak segera menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Tidak mau membuang waktu lama, saya langsung masuk ke dalam Masjid. Ketika melangkahkan kaki masuk ke dalam masjid, sang teman yang katanya aktifis dakwah berkata atau lebih tepatnya menjawab pertnyaan saya. Tapi saya sudah tidak memperdulikan lagi apa yang dikatakannya. Saya sudah tersakiti oleh ucapannya yang seenaknya. Padahal kalau mau instrospeksi diri, dia seharusnya bertanya kepada diri sendiri. Mengapa dirinya masih di kampus? Lha wong kita satu angkatan. Kalau dia belum lulus mbok ya jangan mengejek temannya yang juga belum lulus. Kecuali kalau dia sudah lulus. Itu pun kalau dia tidak punya perasaan. 

Senin, 23 April 2012

Lari Dari Masalah


Indonesia merupakan salah satu negara dengan konsumsi beras terbesar di dunia. Sebagian besar rakyat Indonesia mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Tapi, amat sangat disayangkan, justru penentu kebijakan di negeri ini membuat sebuah kebijakan yang salah kaprah. Bukannya meningkatkan produksi beras dengan jalan memperluas lahan produksi, atau memperluas sawah sebagai salah satu tempat menanam padi, pemerintah malah dengan asyiknya mengimpor beras.
Tidak sampai disitu, bahkan pemerintah pusat hingga daerah gencar mengkampanyekan pengurangan konsumsi nasi. Salah satu berita di Kompas (23/4/2012) dalam rubrik Metropolitan ada sebuah berita berjudul “Rekor Mengonsumsi Makanan Nonnasi”. Berita tersebut bercerita tentang acara yang diadakan oleh Pemkot Depok. Acara itu dimeriahkan oleh 24.520 siswa SD, SMP, SMA di Kota Depok. Acara yang diadakan di lapangan tembak Markas Komando Cadangan Strategis TNI AD itu bertujuan mengurangi konsumsi nasi dan beralih ke makanan pokok lainnya, seperti singkong atau umbi-umbian lainnya.
Dari berita yang ditulis di salah satu rubrik di Kompas, saya jadi teringat pernyataan Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan. Dia mengatakan bahwa keluarganya saat ini sudah tidak lagi mengonsumsi nasi, melainkan beralih ke ketan merah. Kalau seperti ini masalahnya, pemerintah seharusnya jangan membatasi konsumsi nasi yang sudah menjadi makanan pokok rakyat Indonesia, melainkan meningkatkan produksi nasi untuk mencukupi kebutuhan rakyat. Dari langkah-langkah itu sangat terlihat kalau pemerintah seolah-olah lari dari masalah bukan menyelesaikan sebuah masalah.   
Tidak bijak memang apabila hanya menyalahkan pemerintah. Kita juga harus melihat pihak lain. Semakin menyempitnya lahan pertanian di negeri ini tidak lepas dari semakin maraknya bisnis properti. Lahan pertanian yang kurang menjanjikan secara ekonomis berubah menjadi perumahan yang secara ekonomis lebih mudah meraup keuntungan. Di manapun, setiap warga negera yang hendak mendirikan bangunan haruslah memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Pertanyaannya, apakah lahan yang hendak didirikan bangunan di atasnya tersebut merupakan lahan produktif untuk pertanian atau tidak? Di sini juga dibutuhkan kejelian dan kebijakan dalam memberikan izin oleh pihak terkait supaya lahan produksi pertanian tidak semakin berkurang dan hilang.