Total Tayangan Halaman

Senin, 13 Agustus 2012

Miskin Ada Syaratnya


Candra Malik. Tidak banyak orang tahu siapa dia, bahkan saya sendiri tidak begitu mengenalnya. Berawal dari undangan jumpa pers yang diadakan oleh Ranah Rindu Management dalam rangka persiapan acara Tausiakustik yang akan diselenggarakan di depan Pasar Ngarsopuro. Dalam jumpa pers tersebut diterangkan maksud dan tujuan acara Tausiakustik.

Acara yang akan diselenggarkan di depan Pasar Ngarsopuro berisi tausiah oleh beberapa ustadz dan akustik oleh Candra Malik yang baru saja merilis album Kidung Sufi ‘Samudera Cinta’. Rencananya dalam acara ini juga ada dialog dengan masyarakat berbagai latar belakang sosial.

Selesai jumpa pers saya sempat meok (makan enak dan omong kosong) bersama Gus Candra Malik. Sebenarnya apa yang kita obrolkan tidak semuanya omong kosong. Bahkan banyak kritik-kritik sosial yang terjadi secara nyata di sekitar kita menjadi bahan obrolan.

Salah satu pembahasan dalam obrolan tersebut yaitu perihal zakat. Karena sebentar lagi Idul Fitri, maka banyak umat Islam yang hendak memenuhi kewajibannya membayar zakat fitrah. Siapakah yang berhak menerima zakat? Salah satunya adalah orang miskin. Namun, tidak sembarang orang miskin yang menerima zakat. Orang miskin dari golongan muslimlah yang pertama diberi zakat dibandingkan yang non muslim. Sedangkan orang miskin dari golongan non muslim mendapat sisanya. Ya, kalau sisa. Kalau tidak? Sisa pun kadang sisanya diambil sama amilnya.

Seolah-olah untuk menjadi miskin supaya bisa menerima zakat harus punya syarat Islam. Padahal tidak ada dalil yang mengatakan penerima zakat adalah orang miskin yang beragama Islam. Yang terjadi adalah para penerima zakat sebagian besar atau malah keseluruhan mereka yang memegang KTP beragama Islam.

Sebenarnya banyak orang Islam yang kaya, sayangnya kekayaan mereka tidak diketahui larinya kemana dan untuk siapa. Semisal umat yang kaya membantu umat yang kekurangan pastinya tidak akan ada orang Islam yang miskin. Kecuali jiwanya yang miskin atau miskin sistemik.   

Dianggap Berpacaran


Jazakallahu khoir ats smw nashtnya,smg amln yg qt kerjkn smt2 ikhlas krn Allah,ittiba’pd rasul,dan thindar dr fitnah dunia (tmsk pula wnt) krn tak stpun yg bisa mrasa aman dg perkr hatinya... (maaf tidak bisa menulis semua smsnya) *sms dari seorang akhwat beberapa tahun lalu.

Ingin menangis rasanya ketika membaca sms itu. Menangis bukan karena siapa pengirimnya, tapi isi smsnya yang begitu dalam dan mengena. “Mak jleb,” begitu kata seorang teman yang sering kena kritik.

Ibarat dalam sebuah ilmu beladiri, sms tersebut menyerang bagian vital sehingga membuat kita jatuh tak berdaya. Hanya bisa meringis kesakitan. Benar juga note seorang teman kemarin yang mengatakan bahwa seorang laki-laki yang baik, tidak akan membanjiri wanita yang bukan haknya dengan perhatian, termasuk pula melalui berbagai macam pesan singkat.

Dari sms di atas kita bisa mengambil banyak pelajaran. Pertama, setiap kita haruslah ikhlas dalam berbuat. Jangan karena ada pamrih baru kita mau bertindak. Ikhlas hanya karena Allah SWT. Kedua, semua perbuatan kita ittiba’ pada Rasul, mudahnya adalah kita mengikuti tuntunan kita dalam bertindak, yaitu Rasulullah SAW.

Ketiga, atau yang terakhir adalah menghindari fitnah dunia (termasuk pula wanita). Di sini bukan berarti seorang laki-laki harus menghindari seorang wanita. Tetapi kita harus bisa menjaga pergaulan dengan wanita. Tanpa kita sadari ketika kita dengan seorang lawan jenis  berstatus hubungan hanya sekedar teman bisa muncul persepsi dari orang lain kalau kita punya hubungan lebih dari sekedar teman, mungkin dianggap pacaran, tunangan atau hubungan lain yang belum sah menurut agama.

Itulah yang terjadi pada saya. Pada saat itu saya menasehati adek angkat saya yang masih duduk di bangku kelas 2 SMU. Inti nasehatnya, jangan pacaran karena pacaran itu tidak ada dalam ajaran agama. Apa yang terjadi selanjutnya? Dia justru mengatakan saya seorang munafik. Munafik karena melarang orang lain pacaran sedangkan saya sendiri pacaran.

Usut punya usut, teman adek saya adalah adek dari teman saya yang dianggap punya hubungan khusus dengan saya. Padahal dalam kenyataan saya tidak ada hubungan apa-apa dengan akhwat yang dikabarkan adalah pacar saya. Hanya berawal dari sms berisi nasihat berakhir dengan tuduhan kalau saya berpacaran dengan si akhwat.

Jadi, berhati-hatilah dalam setiap bertindak. Awalnya niat kita baik ingin saling menasehati, tetapi ditangkap berbeda oleh orang lain. Dianggapnya ada udang dibalik piring.

Sabtu, 11 Agustus 2012

Belajar Dewasa


Kali ini kembali membahas sebuah catatan seorang teman yang  kemarin ditag di kronologi saya. Catatan itu berisi curhatan seorang mahasiswa senior yang menjadi tempat curhat para adik tingkat dan teman-temannya yang sedang butuh masukan untuk penyelesaian masalahnya. Tidak sembarang orang mau membantu dan menjadi tempat curhat. Berat. Bagi banyak orang menjadi tempat curhat dan membantu menyelesaikan masalah adalah tambahan beban yang memenuhi pundak. Dibutuhkan sikap dewasa dalam hal ini. 

Di sebuah TA yang ditulis seorang teman ukuran dewasa adalah seseorang yang sudah menginjak umur 24. Sedangkan dalam kenyataan, dewasa itu pilihan. Ada anak yang masih berumur 18 tahun tetapi sudah bisa bersikap dewasa layaknya seorang ayah yang mengayomi anak-anaknya. Sebaliknya, ada orang yang sudah berumur 40-an belum bisa dewasa, masih kekanak-kanakan.

Kembali ke permasalahan awal membuat saya teringat sebuah petuah: Kuliah bukan sekedar untuk mencari nilai, ijazah, apalagi status. Kuliah adalah tempat kita merubah pola pikir. Semenjak SD hingga SMU kita mendapat julukan siswa. Menginjak bangku perkuliahan julukan bagi kita berubah menjadi Mahasiswa. Di depan kata siswa tersemat kata “Maha” yang artinya di atas segalanya. Mahasiswa berarti di atas segala siswa.

Sebagian besar orang beranggapan lulus di atas standar normal adalah aib. Tetapi kalau kita mau mengambil pelajaran dari setiap kejadian termasuk lulus kuliah yang melebihi 4 tahun pastinya akan menemukan hikmah luar biasa. Bisa saja itu adalah ketentuan Allah SWT kepada kita agar lebih bersikap dewasa dengan jalan memberi kita adik di tempat kuliah atau organisasi. 

Saya bukan seorang psikolog atau dokter ahli jiwa yang paham tentang kejiwaan. Saya hanya menggunakan pengamatan (ilmu titen). Keluarga adalah yang pertama membentuk apakah sang anak menjadi dewasa lebih cepat atau tetap seperti anak-anak. Dalam mendidik anak pun tidak bisa disamaratakan antara satu dengan lainnya. Anak pertama, terakhir dan tunggal adalah anak dengan perhatian khusus.

Mengapa? 

Anak pertama merupakan “pemimpin” bagi adik-adiknya. Selain itu juga contoh bagi yang lebih muda. Apabila anak pertama sukses maka bisa menjadi contoh baik bagi anak kedua dan seterusnya. Begitu pun sebaliknya, apabila anak pertama kurang sukses. Menjadi PR orang tua dalam mendidik anak pertama agar menjadi pemimpin, minimal pemimpin adiknya. Jangan terlalu dimanja karena membuat si sulung tidak bisa bersikap layaknya kakak. Jangan pula terlalu dikasih aturan mengekang akhirnya membuatnya tidak bisa berinovasi.

Banyak orang menganggap anak terakhir atau disebut juga anak bungsu adalah anak kesayangan. Anggapan ini berkembang ke khalayak sehingga menjadi beban tersendiri bagi si bungsu apabila dalam keluarga tidak menjadi anak kesayangan. Pada kenyataannya tidak semua anak bungsu menjadi anak kesayangan, tergantung orang tuanya. Ada yang menyamarakatan pola pendidikan terhadap anak-anaknya. Tidak peduli dia sulung atau bungsu.

Sebuah tekanan mental tersendiri jika dalam keluarga si anak bungsu bukan anak kesayangan padahal anggapan orang lain dialah anak kesayangan sehingga membuat dia tertekan cukup dalam dan susah bersekspresi. Tetapi jangan sampai terlalu memanjakan anak terakhir. Kalau dimanja bisa membuatnya selalu menjadi “ekor”.

Anak tunggal yang dimaksud di sini tidak hanya anak satu-satunya yang tidak mempunyai saudara kandung, tapi juga anak lelaki satu-satunya karena saudara kandungnya wanita semua atau sebaliknya. Karena sebagai anak tunggal, yang dibutuhkan adalah teman dalam keluarga. Orang tua harus menjadi teman yang baik bagi si anak. Dan orang tua juga akan benar-benar menjaganya karena dialah satu-satunya. Ibarat kita punya benda berharga dan satu-satunya maka kita akan menjaganya dengan sepenuh jiwa. Ingat! Menjaganya bukan berarti memanjakannya.   

So, kalau kamu belum lulus juga ambillah hikmahnya. Mungkin karena sikap kita yang belum dewasa dalam menghadapi persoalan sehingga kita diberi amanah berupa adik tingkat di kampus. Pesan bagi para mahasiswa yang belum lulus: Selama belum lulus kalian akan terus berstatus mahasiswa, jangan sampai berganti status menjadi mahasiswi.    

Kamis, 09 Agustus 2012

Perlukah Istikharah?

Tidak sedikit orang beranggapan bahwa istikharah hanya digunakan untuk memilih jodoh. Misal, ketika hadir dua sosok lawan jenis mempesona yang membuatnya bingung harus memilih mana, istikharah baru digunakan. Tetapi ketika kita bertemu dua jalan kehidupan yang sama-sama membuat bingung, jarang dari kita melaksanakan shalat istikharah sebagai sarana meminta petunjuk Allah SWT.

Sudah jelas dalam hadist: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, mengajari kami shalat istikharah dalam setiap perkara/urusan yang kami hadapi sebagaimana Beliau mengajarkan kami suatu surah dalam Al-Qur’an. Beliau berkata,”Jika salah seorang dari kalian berniat dalam suatu urusan, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang bukan shalat wajib, kemudian berdoalah” (HR. Al-Bukhari).

Hadist di atas menerangkan pentingnya meminta petunjuk Allah SWT supaya Dia memberikan petunjuk mana terbaik yang harus dipilih dalam setiap perkara. Bisa berupa memilih sekolah, tempat tinggal, tempat kerja, dll. Kita lebih banyak menggunakan logika dan nafsu dalam memilih sesuatu (ngaku gak loe?).
Ada benarnya ketika logika ikut bermain tapi sesuai jatah, jangan berlebihan. Ketika hendak membeli rumah logika kita bermain, apakah lokasi tersebut dekat dengan tempat kerja sehingga memudahkan kita dalam pekerjaan, lingkungan yang kondusif dan pertimbangan lainnya. Setelah berbagai pertimbangan, jangan lupa serahkan semua keputusan akhir pada Allah SWT. Itu salah satu contohnya.

Begitu pun dengan nafsu. Manusia dikaruniai nafsu, tidak mungkin nafsu bisa dihilangkan dalam diri manusia melainkan dikendalikan. Contoh simple, disaat kita akan menikah. Kita dipersilahkan melihat wajah calon pasangan dengan tujuan agar memperkuat keinginan menikah. Selain itu juga agar kita tidak menyesal di kemudian hari. Istilah lain membeli kucing dalam karung. Pada saat  melihat calon pasangan, jangan menggunakan nafsu terlalu besar. Secantik dan seganteng apa pun dia, terpenting adalah agamanya. Lagi, istikharah sebagai sarana meminta petunjuk Allah SWT supaya diberi yang terbaik.

Problem saya pada beberapa hari terakhir ini adalah memilih. Bukan memilih jodoh (Pe-De), memilih sekolah (yang satu saja belum lulus mau milih lagi) atau memilih kerja (lulus bos, lulus!!). Memilih pada beberapa hari terakhir adalah memilih tempat berbuka puasa. Hampir setiap Masjid di Solo menyediakan buka puasa gratis. Siapa pun boleh ikut tanpa harus diundang terlebih dahulu. Sekarang masalahnya lain, saya memilih tempat berbuka puasa dengan status tamu undangan. Persoalan yang lebih pelik adalah dalam satu hari ada dua undangan berbuka puasa di tempat yang berbeda.

Dilema? Mungkin iya. Pertama, karena sama-sama gratis. Kedua, yang satu gratis dan lainnya berbayar. Untuk dua hari terakhir ini saya memutuskan mendatangi buka puasa bersama yang panitianya mengundang lebih dulu. Entah itu gratis atau bayar. Siapa cepat dia dapat (kok saya kayak buat rebutan yah, hehe).

Bagaimana dengan nanti sore dan hari-hari selanjutnya? Apakah badan saya harus dibelah menjadi dua atau lebih agar bisa menghadiri semua undangan? Perlukah istikharah sebagai sarana meminta petunjuk mana yang terbaik?

Komentar Dulu Baru Catatan


Sejak awal Ramadhan sampai saat ini saya selalu ditag catatan di FB oleh beberapa teman yang suka menulis. Tema catatannya pun beragam. Kebanyakan bertema cinta kepada Sang Khalik. Bukanlah catatan picisan yang menjelaskan cinta murahan kepada makhluk dengan berlebihan sehingga melupakan cintanya kepada Sang Maha Cinta. Melainkan catatan tajam yang melukai siapa saja yang sudah salah dalam mengartikan cinta.
Saya adalah salah satu korban tusukan catatan cinta yang lebih tajam dari Katana milik seorang Samurai. Apabila seorang Samurai bisa memanggal leher manusia hingga putus dalam sekali tebas dengan Katananya, catatan cinta milik teman-teman saya telah memutilasi saya bahkan melolosi setiap ruas tulang dan membuat saya lemas tak berdaya.
Bukanlah salah sang penulis catatan, melainkan salah saya karena sudah mengartikan cinta secara murahan sampai-sampai melupakan cinta terhadap Pemilik Cinta Abadi. Catatan tidak hanya saja menusuk dan melukai pembaca, tetapi bisa menjadi sebuah sarana penyembuhan penyakit. Ibarat jarum, bisa melukai siapa saja yang salah menggunakannya, tetapi bisa menyembuhkan beberapa penyakit apabila jarum tersebut digunakan sebagai sarana akupuntur.
Rasa aneh menghinggapi saya. Membaca judul catatan teman-teman yang sangat menarik seperti magnet bagi siapa saja, pastinya akan membuat orang yang membaca judulnya akan semakin tertarik untuk membaca isinya. Tidak bagi saya. Justru papan komentarlah yang pertama saya lirik. Menurut saya komentar dari para pembaca terlihat lebih seru, terlebih komentarnya saling sahut-sahutan membantah atau melengkapi antar satu dengan lainnya.
Cukup membaca komentar saja sudah membuat saya tahu kesimpulan catatan. Namun, ada sebuah ketidakpuasan ketika belum membaca catatan yang disodorkan kepada saya. Dengan membaca catatan membuat saya semakin tahu inti permasalahan. Lain halnya jika belum ada komentar satu pun yang menghiasi catatan. Mau tidak mau catatan tersebut saya baca terlebih dahulu dan menelaah isinya.  

Selasa, 07 Agustus 2012

Satu Perjalanan Bertriliun Hikmah

Dalam setiap perjalanan pasti akan ada banyak peristiwa yang kita alami atau kita lihat. Semakin panjang jarak tempuh perjalanan maka semakin banyak peristiwa yang dialami dan kita lihat selama perjalanan. Dari setiap peristiwa pasti ada hikmah yang bisa kita ambil. Tinggal bagaimana kita mengambil hikmah dari setiap peristiwa.
Dalam satu peristiwa saja kita sudah bisa mengambil banyak hikmah. Apalagi lebih dari satu perisitwa, pastinya akan semakin banyak hikmahnya. Misal dalam perjalanan kita mengalami musibah kecopetan. Jangan langsung marah-marah menyalahkan orang lain, tapi kita harus instrospeksi diri. Pertama, mungkin kita kurang bersedekah atau kita pernah memakan yang bukan hak kita. Karena Allah punya triliunan lebih cara untuk mengingatkan kita.
Kedua, kurang hati-hati. Pasti kita pernah membaca tulisan “Barang hilang/tertukar resiko penumpang” di dalam bus. Walaupun sudah ada peringatan yang dipasang oleh PO, toh masih saja ada yang menjadi korban kehilangan. Dalam perjalanan kita dituntut untuk menjaga barang-barang yang kita bawa agar selamat sampai tujuan. Kalau bukan kita sendiri yang menjaganya siapa lagi?
Ketiga, waspada. Ingat pesan Bang Napi? “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah. Waspadalah!” Pesan Bang Napi mempunyai dua pesan terkandung. Pertama, kita jangan sampai memberi kesempatan kepada pelaku kejahatan, contohnya dengan menggunakan perhiasan berlebihan karena bisa mengundang orang berbuat jahat padahal awalnya tidak ada niatan untuk berbuat jahat. Kedua, waspada terhadap setiap orang di sekitar kita. Ini tidak bermaksud mencurigai setiap orang. Cukup waspada.
Terakhir, jangan kita tunjukan sikap lugu. Maksudnya adalah ketika kita datang ke sebuah tempat yang baru kita datangi, janganlah bersikap seperti orang bingung. Bersikap wajar seolah-olah kita sudah sering ke tampat tersebut. Pelaku kejahatan sekarang cukup cerdas dalam membaca gerak-gerik calon korbannya. Kelihatan lugu sedikit saja, pelaku kejahatan langsung bertindak.
Itu baru satu peristiwa, kecopetan. Kita sudah bisa mengambil banyak pelajaran darinya. Belum lagi ditambah peristiwa lainnya yang kita alami atau dialami orang lain yang kita melihatnya. Experient is the best teacher. Ungkapan itu sangat pas bagi setiap manusia dalam mengambil hikmah dari sebuah peristiwa. Bukan hanya pengalaman kita sendiri melainkan juga pengalaman orang lain yang bisa kita jadikan guru terbaik.   

Senin, 06 Agustus 2012

Mahasiswa vs Sopir Truk


Membaca judulnya pasti banyak yang beranggapan ada sebuah perselisihan antara mahasiswa dan sopir truk. Tebakan anda tidaklah salah total, memang ada sebuah perselisihan antara mahasiswa dan sopir truk. Perselisihan di sini bukanlah perselisihan seperti halnya petinju yang akan bertarung, misal Mike Tyson vs Evander Holifyld. Melainkan perselisihan dalam porsi makan.
Diantara kalian sudah banyak yang baca note saya kemarin yang  berjudul “Journey To Semarang” bukan? Note pada hari kemarin bersambung, dan inilah sambungannya.
Kejadian bermula ketika saya sedang makan malam di sebuah warung pinggir jalan raya Solo-Semarang. Kebetulan dekat warung adalah tempat ngetemnya para truk sehingga banyak sopir truk yang berkeliaran di situ. Lha, pas saya sedang makan tiba-tiba ada seorang pelanggan berbadan gemuk yang juga lagi makan memanggil pelayan warung: “mas!”
Pelayan warung datang mendekati pelanggan yang memanggilnya tadi sambil membawa piring berisi nasi putih. Piring berisi nasi putih disodorkan kepada pria  berbadan gemuk yang memanggilnya sambil berucap “biasa, pak.”
Hah?? Saya kaget melihat kejadian itu. Hanya dengan memanggil “mas” tanpa embel-embel “minta tambah nasi” sang pelayan sudah tau maksud dari pria berbadan gemuk yang tak lain adalah pak sopir. Apalagi ditambah ucapan pelayan dengan mengatakan “biasa, pak.”. Saya semakin percaya kalau sopir truk yang sedang makan di warung bersama saya sudah langganan di warung tersebut dan makannya lebih dari satu piring nasi putih.
Jadi teringat ketika saya dalam “masa pertumbuhan”. Pada waktu itu masih semester awal. Saya makan layaknya orang kesurupan. Bisa dikatakan porsi untuk dua orang saya kuat menghabiskannya sekali lahap. Bahkan sampai teman-teman saya hafal porsi makan saya. Kalau mereka melihat saya mengambil sedikit  makanan mereka akan berucap:”ra sah isin-isin”. Hanya senyuman yang mampu saya berikan, dengan tangan masih terus mengambil makanan yang saya inginkan.
Semua berakhir pada semester akhir, perut terasa sangat sakit dan susah untuk BAB. Saya putuskan berobat ke MC, Medical Centre UNS (mumpung mahasiswa gratis). Saya mendapat berbagai macam vitamin dan obat pelancar BAB disuruh beli sendiri di apotek luar karena di apotek MC tidak ada obat pelancar BAB. Saran dari dokter adalah perbanyak olahraga dan diet. Alhamdulillah sekarang sudah sehat. Tidak perlu ke klinik Tong Fang. Hehehe... 
Dulu mungkin saya bisa bersahabat dengan pak sopir karena sama-sama mempunyai porsi makan jumbo. Sekarang saya adalah lawan pak sopir dalam hal porsi makan. Sekadar catatan: Tidak semua sopir truk porsi makannya banyak

Minggu, 05 Agustus 2012

Journey to Semarang


Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk di sampingku kawan *Ebiet G Ade
Kalau kita mendengarkan seluruh syair lagu maka akan tahu maksud dari lagu itu sebenarnya. Yaitu menggambarkan bencana yang melanda sebuah daerah dengan tanah tandus sehingga menyebabkan penduduknya menderita bencana kekeringan. Banyak penduduk mati kelaparan, anak-anak kecil menjadi yatim-piatu karena ditinggal mati orang tuanya.
Namun, pada tahun 2006 penggalan syair lagu tersebut digunakan oleh sebuah produsen rokok terkemuka di negeri ini sebagai back sound iklan. Iklan ini sering muncul di televisi pada bulan Ramadhan 2006. Ceritanya, ada seorang laki-laki dengan sepeda motornya melakukan perjalanan sendirian hendak mudik. Di tengah perjalanan adzan maghrib berkumandang. Dia melaksanakan shalat maghrib di surau kecil tepi jalan. Selesai shalat dia mendapati kurmanya habis dimakan oleh orang tak dikenal.
Pasti kita akan marah apabila mengalami keadaan seperti itu. Lebih parah lagi mengumpat. Tapi, yang dilakukan pria dalam iklan rokok hanya sabar dengan cobaan yang dialaminya dalam perjalanan. Inilah sebuah ujian bagi seorang hamba yang bertakwa, mungkin begitu pikirnya.
Mungkin keadaan laki-laki dalam iklan rokok itu hampir sama dengan keadaanku kemarin sore, sama-sama melakukan perjalanan dengan motor kesayangan tanpa ditemani siapa pun baik itu, teman, saudara, pacar (emang punya?), atau istri (kalau yang ini belum punya) alias sendiri. Dan sama-sama menemui adzan maghrib ketika sedang menempuh perjalanan. Bedanya, saya tidak mengalami cobaan seperti sang pria dalam iklan rokok karena saya  nggak bawa kurma, dan saya tidak sedang melakukan perjalanan mudik ke kampung halaman.
Perjalanan kemarin sore sungguh menyenangkan dan penuh tantangan. Berangkat dari Solo pukul 17.00 dan sampai di tujuan pukul 20.00. Sebenarnya bisa lebih cepat kalau saja saya tidak terlalu lama ngetem di warung makan. Selesai shalat maghrib mampir ke warung makan mengisi perut yang sebelumnya hanya diisi air putih sebagai pembatal puasa.
Di warung makan murah meriah (selera mahasiswa) saya tidak hanya makan saja, melainkan membalas beberapa pesan masuk yang belum sempat dibalas. Tidak terasa ternyata sudah setengah jam lebih berada di warung tersebut. Ada sebuah kejadian menarik di warung pinggir jalan raya. Kejadian yang menunjukan porsi makan mahasiswa vs sopir truk.

*bersambung

Menembak


Tidak banyak orang menekuni olahraga menembak. Banyak penyebabnya mengapa olahraga tersebut sedikit peminatnya. Bisa dari biaya besar yang harus dikeluarkan agar mempunyai peralatan menembak sampai peraturan yang cukup rumit. Dan masih banyak alasan lainnya. Kalau pun ada yang menekuninya bisa dipastikan dia bukanlah orang sembarangan. Di sini saya tidak akan membahas tentang olahraga menembak.
Dalam olahraga menembak ada berbagai macam peralatan penting, seperti pistol atau senapan sebagai pelontar peluru, dan yang tak kalah pentingnya adalah pelurunya itu sendiri. Lha kalau nggak ada pelurunya bagaimana bisa nembak. Pertanyaannya: Yang ditembak apa??? Jawabannya: Yang ditembak adalah sasaran tembak.
Sasaran tembak yang digunakan juga bermacam-macam. Ada botol yang dijajar rapi, ada orang-orangan, ada orang beneran (eh, gak ding. Kejam itu namanya hehe). Saya ingin mengilustrasikan sasaran tembak yang digunakan adalah gambar lingkaran yang banyak jumlahnya, kayak spiral gitu. (mudeng maksud saya?? Coba bayangkan). Dalam sasaran tembak yang seperti itu kita akan mendapat poin tertinggi apabila bisa menembak tepat di lingkaran paling tengah. Namun, kalau meleset kita cuma mengenai lingkaran terluar, bahkan tidak mengenai sasaran sama sekali.
Bagaimana caranya agar kita bisa menembak tepat sasaran? syukur-syukur tembakan kita pas di lingkaran paling tengah. Caranya mudah, berlatih!!!
Apakah cukup berlatih?? Tidak!!
Sebelumnya kita juga harus tahu teknik dasarnya dulu, istilahnya belajar teorinya terlebih dahulu. Setelah paham tentang teori tinggal dipraktekkan. Semakin tinggi jam terbang praktek, semakin besar kemungkinan akan menjadi penembak jitu sehingga kita bisa mendapatkan poin terbaik dalam kejuaraan menembak.
Begitu pun dalam hal menembak pasangan (baca: lamaran). Pertama belajar teori tentang atribut pernikahan, mulai dari sebelum menikah sampai setelah menikah. Selanjutnya adalah latihan rutin. Latihan rutin di sini bukan dimaksudkan harus sering-sering menembak, melainkan latihan dengan memperbaiki diri kalau ingin mendapat pasangan yang baik. Semakin baik diri kita InsyaAlloh akan semakin baik pula pasangan kita.
Apabila sudah merasa cukup dalam latihan dan yakin akan mendapatkan poin tertinggi, tunggu apa lagi?? Segeralah mengikuti kejuaraan menembak. Tapi ingat, jangan lupakan tembak dan pelurunya.
Oh ya, olahraga menembak tidak hanya kaum adam saja yang menggelutinya. Tidak sedikit wanita yang ikut terjun dalam olahraga ini. Bahkan mereka bisa menjadi juara dalam kejuaraan menembak. Tidak percaya?? Sudah ada buktinya kok.
*Ini note bagi mereka yang galau ingin segera menikah. Bagi yang sudah menikah silahkan sharing ilmunya. Hehe...  

Jumat, 03 Agustus 2012

Doktrin


“Busyro Muqoddas (Dosen UI-KPK)- dlm buku hasil disertasiny “HEGEMONI REZIM INTELIJEN” menyatakan: terorisme di negeri ini smua hasil konstruksi intelijen negara sendiri. (Banjarmasin Post 14/11), (Globalmuslim.web).” *sms 4-12-2011: 14.08
Demikianlah sms dari seorang teman yang saya panggil “mbak” karena kebetulan umur beliau lebih tua dari saya. Dari sms itu pula terjadi sebuah diskusi dengan beberapa teman mengenai: Benarkah otak itu bisa dicuci?
Kebetulan dalam diskusi ringan dan dadakan yang diadakan di dalam ruang pengap sebuah kos tidak dihadiri oleh mahasiswa psikologi, atau minimal orang yang paham tentang psikologi dan kejiwaan. Kalau saja ada, pasti akan lebih seru karena diskusinya tidak hanya berdasar interpretasi masing-masing. Ada sebuah landasan ilmu tentang kejiwaan yang menerangkan perihal cuci otak.
Beberapa peserta diskusi tidak menyetujui kalau otak itu bisa dicuci. Melainkan didoktrin sesuai keinginan sang pendoktrin. Sejarah membuktikan kalau rakyat Indonesia pernah didoktrin pada masa Orde Baru. Kita dicekoki melalui berbagai sarana dan prasarana bahwa yang namanya PKI adalah penjahat dan dalang dari tragedi G 30 S.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu mungkin tidak terlalu ekstrem. Hanya mengubah image rakyat terhadap Faham Komunis di Indonesia. Beda halnya dengan para tersangka terorisme yang melakukan bom bunuh diri dengan mengatasnamakan jihad. Sebagai orang normal pasti akan berfikir seribu kali sebelum melakukannya. Kalau benar-benar ingin berjihad mengapa tidak pergi saja ke Afghanistan atau Palestina? Kenapa harus melakukan bom bunuh diri di negeri sendiri?
Kalau mau melihat fakta di lapangan, tidak sedikit umat Islam yang menjadi korban. Misalnya kasus bom bunuh diri di Masjid Polres Cirebon. Para Jama’ah yang hendak melaksanakan Shalat Jum’at dikejutkan oleh bom yang meledak tiba-tiba. Bahkan Kapolres menjadi salah satu korban.
Cuci otak mungkin memang ada dan bisa dilakukan. Teringat cerita seorang anggota Brigif 6. Awalnya saya sebagai ketua panitia acara Kuas Pena memerintahkan anak buah di sie transportasi mencari kendaraan untuk mengangkut peserta menuju tempat acara. Dilihat dari pengalaman yang pernah terjadi, tidak ada bus yang sanggup mencapai lokasi dikarenakan terlalu tinggi.
Setelah memutar otak, truk tentaralah menjadi alterrnatif dengan pertimbangan bahwa truk tentara kuat mencapai tempat yang tinggi karena sering membawa “anggota” naik-turun gunung untuk latihan. Singkat cerita saya ngobrol dengan sopir truk yang juga anggota Brigif. Dia bercerita, dulu ketika masa pendidikan dia sampai lupa siapa nama orang tuanya. Katanya lagi, pendidikannya pada masa itu sama dengan cuci otak.
Ya, saya tidak tahu pasti bagaimana sistem pendidikan di militer. Itu hanya pendapat dari salah satu anggotanya. Yang terjadi pada tersangka teroris mungkin juga adalah korban cuci otak. Sebagai orang normal yang taat beragama pasti tidak akan mau melakukan bom bunuh diri, apalagi ini di dalam tempat ibadah, Masjid.
Sesuatu yang salah jika dikatakan seribu kali maka akan menjadi benar. Pesan Sun Tzu, ahli strategi perang dari China. Begitulah salah satu cara bagaimana mendoktrin. Kalau terus-terusan pasti akan menancap dalam pemikiran, entah itu benar atau salah.

Rabu, 01 Agustus 2012

Masak Itu Macho


Perasaan akhir2 ini banyak pria berbadan kekar, penuh tato tapi doyan masak.
Status dari seorang teman yang mungkin terinspirasi oleh tayangan Master Chef di RCTI. Saya sendiri memang tidak pernah mengikuti acara tersebut secara seksama, hanya sekali menonton acara itu. Dalam acara lomba masak itu ada banyak peserta laki-laki maupun wanita.
Sebagai lelaki normal saya bisa mengatakan para peserta lomba masak yang berjenis kelamin laki-laki terlihat ganteng dan macho. Kenapa saya bisa mengatakan seperti itu?? Pertama karena badan mereka yang terlihat kekar dan seksi. Kedua, penampilan mereka terlihat sangar (bahasa ekstrimnya macho) dengan tato dan atribut pada diri mereka.
Di sini saya kembali mempermasalahkan status yang ditulis oleh teman. Dari status itu dapat disimpulkan bahwa yang namanya laki-laki yang terlihat “laki” seolah-oleh tidak pantas masak. Memasak adalah pekerjaan kaum wanita atau untuk laki-laki feminim.
Mungkin sah saja dia mengatakan demikian, toh itu pendapat dia. Tapi kita juga mengenal yang namanya kesetaraan. Ketika ada banyak wanita saat ini yang melakukan pekerjaan layaknya pria, apakah pria tidak boleh melakukan pekerjaan layaknya wanita?? Selain itu memasak tidak hanya dijadikan pekerjaan. Mungkin hobi, mungkin panggilan jiwa atau bisa jadi berawal dari sebuah keterpaksaan.
Saya sendiri juga senang masak ketika sedang berada di rumah. Mulai dari masak air, masak mie instan, bahkan sampai memasak sayur membantu ibu. Semua itu saya lakukan dengan enjoy tanpa perasaan kalau saya adalah seorang lelaki feminim apalagi sebagai seorang wanita. Asalkan kita tidak melupakan kodratnya sebagai seorang laki-laki, toh kita tetap menjadi lelaki macho yang gemar memasak karena memasak tidak akan mengurangi sifat macho seorang lelaki.