Total Tayangan Halaman

Rabu, 23 Januari 2013

CITA-CITA



Malam mulai menyelimuti langit. Abimanyu  masih tidur-tiduran di kasur dalam kamarnya. Langit-langit kamar yang berwarna putih seolah-olah terlihat gelap. Kedua telapak tangannya dijadikan alas kepala sambil menatap langit-langit kamarnya.
Sesekali matanya melirik ke kanan dan kiri seolah ada yang ingin ditatap dan diajak bicara, sorot matanya terlihat kuyu. Di telinganya masih terngiang ucapan sang Bunda tadi sore ketika mereka berada di ruang keluarga.
“Pokoknya, Bunda nggak setuju kamu jadi Tentara.”
“Apa alasan Bunda melarang, Abi? Apakah Bunda tidak suka melihat anaknya menjadi Tentara?” Tanya Abimanyu heran.
“Bukan itu maksudnya. Dengarkan dulu penjelasan Bunda,” suaranya agak ditekan.
Setelah menghela nafas panjang dan menenangkan diri sebentar, Bunda meneruskan ucapannya dengan suara bergetar.
“Bunda meminta kamu tidak masuk Tentara. Bukan karena apa-apa. Semua kakakmu telah berkeluarga dan menetap di luar kota, hanya kamu yang masih tinggal bersama Bunda dan Ayah.”
“Kami berharap kamu kuliah di universitas manapun yang kamu mau dengan jurusan yang kamu suka. Setelah selesai nanti, carilah pekerjaan di sini dan  tinggal di rumah ini bersama Bunda dan Ayah.”
Abimanyu mendengarkan  penjelasan Sang Bunda yang tiba-tiba terhenti dengan kepala tertunduk menekur lantai kotak berwarna putih. Menjadi Tentara adalah salah satu impian Abimanyu yang telah lama dibangun pelan-pelan gemeretak, runtuh menjadi puing-puing berserakan dan tak berbentuk.
Bagi Abimanyu, prestasinya di sekolah dari SD sampai SMA selalu mendapat rangking tiga besar dan latihan fisik setiap hari sudah cukup untuk mempersiapkan diri menjadi Tentara. Dia bahkan sudah sepakat bersama Bambang, teman karibnya di SMA untuk bersama-sama mendaftarkan diri masuk pendidikan kemiliteran.
Sepasang mata sayu Bunda menatap Abi dengan tatapan teduh. Keibuan. Tanpa dikomando oleh siapapun Bunda melanjutkan ucapannya. Namun, Abimanyu terlebih dahulu mengutarakan isi hatinya.
“Tapi Bunda, Abi tidak mau masuk Universitas manapun. Abi ingin menjadi Tentara,” tangkis Abi. Mukanya berubah merah.
“Coba Bunda lihat! Banyak Sarjana lulusan Universitas ternama setelah lulus mereka masih harus mencari pekerjaan. Kalau beruntung mereka akan langsung dapat pekerjaan tapi kalau tidak mereka akan jadi pengangguran. Apakah Bunda mau melihat Abi seperti itu? Sedangkan kalau Abi menjadi Tentara Ayah dan Bunda tidak usah pusing memikirkan biaya kuliah. Bahkan Abi tidak perlu kesana-kemari mengajukan surat lamaran,”  lanjut Abi.
“Abi...” Suara Bunda pelan. Suara lembut penuh tekanan.  
“Apakah kamu tega terhadap Ayah dan Bunda? Kalau kamu jadi Tentara, tugas selalu berpindah-pindah, jauh dari orang tua, lalu siapa yang akan menemani kami dihari tua nanti?” Pertanyaan itu benar-benar menusuk hati.
“Kenapa bunda bertanya seperti itu kepada saya? Kenapa tidak kepada kakak-kakak Abi?”
Apakah ini resiko sebagai anak bungsu? Tidak bebas menentukan pilihannya? Haruskah mengubur cita-citanya yang telah lama dibangun?
Hati Abimanyu bergejolak. Marah bercampur rasa sedih dan haru. Satu sisi dia ingin meraih cita-citanya tapi di sisi lain dia juga ingin merawat dan selalu menemani kedua orang tuanya yang telah memasuki usia senja.
Sebelumnya Abimanyu tidak pernah membantah keinginan kedua orang tuanya. Abi adalah sosok anak yang penurut, baik dan pendiam. Kekesalan karena cita-citanya ditentang serta berbenturan dengan rasa tidak tega melawan kehendak dan keinginan Bunda. Dia teringat dengan kasih sayang tak terperikan bagai surya menyinari dunia.
“Allaahu akbar...Allaahu akbar...!”
Persis ketika takbir pada awal Azan Maghrib berkumandang. Abi berjalan menunduk menuju kamar. Persis ketika takbir pada akhir azan selesai dia membanting pintu dan menguncinya. Badannya dilempar ke atas kasur. Dia melihat langit-langit kamar yang seolah-olah terlihat gelap.
Dimana kemerdekaan anak yang mempunyai cita-cita? Kenapa masa depannya harus diatur orangtua? Apakah dia tidak bisa terbang bebas menentukan pilihan seperti orang lain? Di tengah gelap, dia terus bertanya dan bertanya kepada diri sendiri sampai memejamkan matanya.

Cerpen oleh Fuad Hasan
Majalah Embun, Edisi Desember 2012

Jumat, 11 Januari 2013

FILM SARA??



Bagi para maniak film mungkin tidak asing dengan salah satu film Indonesia ini. Judulnya XXL atau dibaca double x-tra large. Namanya juga film Indonesia pasti tidak menyimpang dengan hal-hal berbau pornografi, apalagi ini film humor pastinya isinya konyol. Lagi-lagi kekurangan film humor Indonesia, konyolnya kebangetan. Saya tidak akan membahas konyolnya atau “saru” nya, tapi kesukuan yang dimunculkan dalam film XXL.
Lakon dalam film XXL adalah Aming yang dalam film tersebut bernama Kasep. Ceritanya Aming mempunyai ayah mantan ketua gank orang bandung bernama “Barudak”. Sudah beberapa tahun ayahnya Aming (Asep) hilang tanpa berita. Ada yang menganggapnya mati dibunuh oleh musuh-musuhnya. Maklum, namanya juga kepala gank pasti banyak musuhnya. Tetapi Kasep tidak demikian anggapannya. Dia masih saja berkeyakinan kalau ayahnya belum meninggal.
Singkat cerita, semenjak kepergian Asep gank barudak sudah tidak ada wibawanya sama sekali. Para anggota menyebar kemana-mana, namun masih ada beberapa anggota gank yang sering berkumpul. Mereka mendirikan warung makan di daerah yang dulu pernh dikuasai oleh barudak. Daerah kekuasaan barudak sekarang sudah diambil alih oleh gank wongkentir. 
Gank wongkentir adalah gank kumpulan yang isinya orang-orang jawa. Di sinilah saya mulai tidak suka dengan film tersebut. Sebagai orang Jawa saya tersinggung karena orang jawa disitu sebagai musuh dan digambarkan sebagai orang-orang yang munafik. Kelihatan lembut ternyata preman. Bahkan pemimpin gank wongkentir adalah orang yang cengeng. Ini sama saja menganggap orang jawa adalah orang yang cengeng.
Kenapa sih harus bikin film seperti itu?? Apakah tidak ada ide lain?? Coba kalau yang dijelekkan dalam itu orang-orang keturunan, misal tionghoa, pasti sudah dikritik bahkan sampai dituntut film itu. Lha kenapa pula suku jawa yang dijadikan tokoh antagonis. Apakah pembuat filmnya tau kalau orang jawa diam saja ketika melihat film itu?? Karena kita tahu sendiri tabiat orang jawa yang selalu nerimo dan sabar.  Walaupun dijelek-jelekkan sedemikian rupa.

Kamis, 10 Januari 2013

Bukan Three Mustketeers 1



Sudah lama ane kagak buka blog sendiri apalagi mengisinya dengan tulisan2 gila ane. Berawal dari membaca blog milik teman yang salah satu tulisannya menurut ane lucu dan membuat ROEFL (Roll On thE Floor Laugh) alias ngakak guling-guling. Untung ane baca blognya ketika sedang onlen di kamar, coba kalo pas onlen di tempat hotspotan. Gak bisa bayangin deh. Pasti disangka orang gila. Haha…

Ok, ane menuju topik utama. Setelah baca blog teman tiba2 datanglah seorang teman ke kos ane. Dia kuliah di kampus yang sama (UNS) dan dari daerah asal yang sama pula (Kebumen City). “Ad, pokeran!” Teriak teman yang baru saja datang. Akhirnya ane menghentikan sejenak ngetik sesuatuh, dan pokeran dengan teman yang baru saja datang dan salah seorang penghuni kos yang kebetulan juga dari Kebumen City. Sebenarnya masih ada dua orang lagi, tapi yang satu lagi belajar dan yang satunya lagi lebih milih tidur.

Hitung2 sudah lama kagak main poker, ane terima tantangannya. Tiga orang Kebumen main poker bersama. Yang penting bukan main pokernya, tapi obrolannya, gan. Dari obrolan itulah jadi dapat banyak informasi, termasuk info siapa saja yang akan segera menikah dalam waktu dekat. Benar saja, dalam waktu dekat ada yang mau nikah. Salah satu dari kami digosipkan patah hati.

“Boy, pas ijab kan pak penghulu tanya sama para saksi: sah?? ente disitu teriak yang kencang: Tidaaaakkk saaaahhh…” Ucap ane bercanda. Otomatis ane dan kedua teman ane (termasuk yang dikecrok’i) tertawa. Oh ya, sebenarnya itu percakapan menggunakan bahasa jawa, campuran ngapak dan bandek (logat solo) yang sudah ane terjemahkan dalam bahasa Indonesia karena ane cinta bahasa Indonesia sebagai persatuan nasionalisme. 

Ane heran, pas main poker dan ngobrol2 sama kedua teman ane itu, kok bisa yah ane bertiga kayak jagoan three mustketeers. Bukan mirip gantengnya ato jago berkelahi layaknya jagoan, tapi setiap nge-gank kok ane selalu bertiga. Kali ini bertiganya cowok semua. Jadi teringat gank ane yang kebetulan 3 cowok dengan tujuan yang sama, menulis buku alias jadi penulis. Penulis yang nyambi usaha, penulis nyambi abdi negara, dan penulis murni. Pokoknya penulis adalah kerjaan inti, dan kerjaan lainnya adalah sambilan. Haha… idealis banget, bung!! Julukan untuk kami dari teman2 di komunitas adalah trio galau.