Malam mulai menyelimuti
langit. Abimanyu masih tidur-tiduran di
kasur dalam kamarnya. Langit-langit kamar yang berwarna putih seolah-olah
terlihat gelap. Kedua telapak tangannya dijadikan alas kepala sambil menatap langit-langit
kamarnya.
Sesekali matanya melirik ke
kanan dan kiri seolah ada yang ingin ditatap dan diajak bicara, sorot matanya
terlihat kuyu. Di telinganya masih terngiang ucapan sang Bunda tadi sore ketika
mereka berada di ruang keluarga.
“Pokoknya, Bunda nggak
setuju kamu jadi Tentara.”
“Apa alasan Bunda melarang,
Abi? Apakah Bunda tidak suka melihat anaknya menjadi Tentara?” Tanya Abimanyu
heran.
“Bukan itu maksudnya.
Dengarkan dulu penjelasan Bunda,” suaranya agak ditekan.
Setelah menghela nafas
panjang dan menenangkan diri sebentar, Bunda meneruskan ucapannya dengan suara
bergetar.
“Bunda meminta kamu tidak
masuk Tentara. Bukan karena apa-apa. Semua kakakmu telah berkeluarga dan
menetap di luar kota, hanya kamu yang masih tinggal bersama Bunda dan Ayah.”
“Kami berharap kamu kuliah
di universitas manapun yang kamu mau dengan jurusan yang kamu suka. Setelah
selesai nanti, carilah pekerjaan di sini dan
tinggal di rumah ini bersama Bunda dan Ayah.”
Abimanyu mendengarkan penjelasan Sang Bunda yang tiba-tiba terhenti
dengan kepala tertunduk menekur lantai kotak berwarna putih. Menjadi Tentara
adalah salah satu impian Abimanyu yang telah lama dibangun pelan-pelan
gemeretak, runtuh menjadi puing-puing berserakan dan tak berbentuk.
Bagi Abimanyu, prestasinya
di sekolah dari SD sampai SMA selalu mendapat rangking tiga besar dan latihan
fisik setiap hari sudah cukup untuk mempersiapkan diri menjadi Tentara. Dia
bahkan sudah sepakat bersama Bambang, teman karibnya di SMA untuk bersama-sama
mendaftarkan diri masuk pendidikan kemiliteran.
Sepasang mata sayu Bunda
menatap Abi dengan tatapan teduh. Keibuan. Tanpa dikomando oleh siapapun Bunda
melanjutkan ucapannya. Namun, Abimanyu terlebih dahulu mengutarakan isi
hatinya.
“Tapi Bunda, Abi tidak mau
masuk Universitas manapun. Abi ingin menjadi Tentara,” tangkis Abi. Mukanya
berubah merah.
“Coba Bunda lihat! Banyak
Sarjana lulusan Universitas ternama setelah lulus mereka masih harus mencari
pekerjaan. Kalau beruntung mereka akan langsung dapat pekerjaan tapi kalau
tidak mereka akan jadi pengangguran. Apakah Bunda mau melihat Abi seperti itu?
Sedangkan kalau Abi menjadi Tentara Ayah dan Bunda tidak usah pusing memikirkan
biaya kuliah. Bahkan Abi tidak perlu kesana-kemari mengajukan surat lamaran,” lanjut Abi.
“Abi...” Suara Bunda pelan.
Suara lembut penuh tekanan.
“Apakah kamu tega terhadap
Ayah dan Bunda? Kalau kamu jadi Tentara, tugas selalu berpindah-pindah, jauh
dari orang tua, lalu siapa yang akan menemani kami dihari tua nanti?”
Pertanyaan itu benar-benar menusuk hati.
“Kenapa bunda bertanya
seperti itu kepada saya? Kenapa tidak kepada kakak-kakak Abi?”
Apakah ini resiko sebagai
anak bungsu? Tidak bebas menentukan pilihannya? Haruskah mengubur cita-citanya
yang telah lama dibangun?
Hati Abimanyu bergejolak.
Marah bercampur rasa sedih dan haru. Satu sisi dia ingin meraih cita-citanya
tapi di sisi lain dia juga ingin merawat dan selalu menemani kedua orang tuanya
yang telah memasuki usia senja.
Sebelumnya Abimanyu tidak
pernah membantah keinginan kedua orang tuanya. Abi adalah sosok anak yang
penurut, baik dan pendiam. Kekesalan karena cita-citanya ditentang serta
berbenturan dengan rasa tidak tega melawan kehendak dan keinginan Bunda. Dia
teringat dengan kasih sayang tak terperikan bagai surya menyinari dunia.
“Allaahu akbar...Allaahu
akbar...!”
Persis ketika takbir pada
awal Azan Maghrib berkumandang. Abi berjalan menunduk menuju kamar. Persis
ketika takbir pada akhir azan selesai dia membanting pintu dan menguncinya.
Badannya dilempar ke atas kasur. Dia melihat langit-langit kamar yang seolah-olah
terlihat gelap.
Dimana kemerdekaan anak yang
mempunyai cita-cita? Kenapa masa depannya harus diatur orangtua? Apakah dia
tidak bisa terbang bebas menentukan pilihan seperti orang lain? Di tengah
gelap, dia terus bertanya dan bertanya kepada diri sendiri sampai memejamkan
matanya.
Cerpen
oleh Fuad Hasan
Majalah
Embun, Edisi Desember 2012