Berawal dari perut yang merasakan
sakit luar biasa. Entah mengapa, perut ini rasanya seperti dipelintir. Bukan
karena belum makan sehingga membuat perutku terasa sakit. Padahal saya sudah
makan walau hanya dengan lotek dan lontong. Bukan pula karena mencret yang bisa
membuat orang bolak-balik wc karena selalu ingin buar air besar. Justru
sebaliknya, saya tidak ada keinginan ke wc.
Sudah beberapa hari ini saya susah
buang air besar. Pencernaan terganggu. Inilah yang membuat perut terasa seperti
ditinju oleh Mike Tyson. Pada saat mencapai puncak sakit, seluruh badan
berkeringat karena menahan rasa sakit yang luar biasa, bahkan ingin rasanya
pingsan.
Saya tidak tertarik untuk berobat ke
rumah sakit atau puskesmas. Saya beranggapan sakit yang saya derita hanyalah
sakit ringan yang sedikit menggangu pencernaan. Mungkin dengan mengubah pola
makan bisa membuat pencernaan saya kembali sehat. Kurangnya makanan berserat
tinggi yang masuk dalam perut salah satu penyebabnya dan porsi makan yang melampaui
batas normal manusia juga menjadi penyebab berikutnya.
Akhirnya saya mengurangi porsi
makan, dari yang biasanya 3x sehari menjadi 2x sehari. Dari “porsi kuli”
menjadi porsi orang yang tidak doyan makan, alias sedikit banget. Makanan
berserat tinggi juga semakin banyak menghujani perut. Sarapan dihilangkan. Makan
siang yang biasanya nasi, sayur dan lauk pauk dengan porsi jumbo berubah
menjadi, lotek, lontong dan telor. Kadang makan siang hanya buah-buahan (lotis
tanpa sambal). Untuk makan malam diubah menjadi makan sore yang hanya 3 bungkus
nasi kucing dengan 2 atau 4 gorengan.
Apa yang terjadi? Ternyata pola
makan yang telah dirubah belum juga membuahkan hasil. Mau tidak mau saya
menyerah. Dengan diantar oleh seorang teman, saya menuju Medical Centre UNS (MC
UNS). Di sana saya diperiksa oleh seorang dokter wanita yang masih muda.
Kira-kira masih berumur 30-an.
Selayaknya dokter pada umumnya yang
sedang memeriksa pasien, dokter wanita tersebut bertanya macam-macam tentang
keluhan yang saya rasakan. Setelah mendengar keluhan saya, dokter tersebut
menulis sebuah resep. Belum selesai menulis resep, sang dokter bertanya kepada
perawat yang mendampinginya, “mas, di sini ada Dulcolax?” Perawat itu menawab
“Di sini nggak ada.”
Selesai menulis resep, dokter cantik
itu memberikan resep obat ke saya yang selanjutkan diserahkan ke apotek MC UNS.
Saat memberikan resep obat ke saya, dokter wanita yang tadi memeriksa saya
berkata, “Dik, nanti jangan lupa beli Dulcolax di apotek ya.” Saya hanya
mengangguk sambil tersenyum kecut. Hehe.
Benarkah, kampus yang katanya World
Class University ini, yang mempunyai Medical Centre sebagai pusat layanan
kesehatan bagi dosen, karyawan, dan mahasiswa UNS tidak mempunyai tempat
pelayanan kesehatan yang cukup memadai? Bahkan untuk menyediakan Dulcolax saja
tidak bisa.