Jum’at, 15 Maret 2013 saya mengantarkan Bapak dan Ibu
untuk cek kesehatan dan konsultasi gizi di RS Dr Sardjito, Yogyakarta. Bapak
dan Ibu berobat menggunakan askes karena pensiunan abdi negara. Dengan berobat
menggunakan Askes kita akan mendapat potongan harga alias membayar lebih murah
atau di bawah standar.
Namanya juga fasilitas murah pastinya membuat kita untuk
lebih nrimo. Ada sebuah guyonan di
kalangan masyarakat rega nggawa rasa,
artinya harga bawa rasa. Maksudnya dengan harga yang ekonomis kita harus
menerima fasilitas yang minimalis dan dinomor duakan dibandingkan dengan yang
kelas bisnis atau eksekutif yang bayarnya lebih mahal.
Selain fasilitas yang minimalis sebagai kelas di bawah
eksekutif, birokrasinya pun berbelit-belit dioper ke sana-kemari. Selesai
melakukan pendaftaran kita diharuskan menunggu panggilan pemeriksaan yang
antrinya luar biasa banyak sehingga membuat kita menunggu cukup lama. Saya
perhatikan ternyata kita menunggu sampai satu jam sampai akhirnya dipanggil
untuk mendapatkan pemeriksaan oleh dokter.
Di sela-sela menunggu itulah saya menulis status, selain
untuk meluapkan emosi karena menunggu yang cukup lama juga menjadi sebuah
keluhan seorang pasien kepada para pelayan masyarakat yang bergerak di bidang
kesehatan. Inilah status saya:
“Dokternya ngobrol sama temannya sesama dokter, pegawai
di bagian administrasi juga pada ngobrol masing-masing, lha kok gak
dipanggil-panggil?? Ketika ditanya, jawabnya: Sabar ya mas... Saya gak bisa
bayangkan kalau pasiennya orang yang sekarat “sabar ya mas”. Beginikah
pelayanan di Rumah Sakit, ribet, lama dan gak cekatan??” *edisi di RS Sardjito.”
Sekitar 1 jam lebih 23 menit tiba-tiba ada seorang
yunior saya di sebuah organisasi menulis komentar yang kelihatan kalau dia
tidak suka dengan status saya, beginilah komentarnya: “Mending masnya jadi
dokter aja deh biar ada dokter yang cekatan.”
Tidak sampai di situ, pada sore harinya sekitar pukul
16.58 WIB dia kembali menulis komentar, kali ini cukup pedas: “Dulu gurunya
gimana yaa ngajarnya kok muridnya jadi rusak semua? Pernah guru dihujat? Gak!
Sebusuk apapun guru tetep aja dipuji dan dianggap pahlawan. Kalo tenaga medis
salah dikit aja jelek2innya luar biasa. Udahlah kalo gak puas denga pelayanan
kesehatan yaa gak usah berobat. Kalo gak terima dengan pemerintah indonesia yaa
monggo keluar negeri. Gitu aja kok repot.”
Dari komentar-komentar tersebut jelas banget terlihat
kalau calon dokter sedang membela calon korpsnya, korps kedokteran. Mereka
tidak mau disalahkan walaupun salah. Sangat disayangkan pula kenapa dia malah
menjelek-jelekkan Guru, padahal kita semua pernah yang namanya diajar oleh
guru, mulai sejak TK sampai SMA. Walaupun belum lama ini kita dihebohkan oleh
berita yang isinya tindakan beberapa oknum guru yang tidak patutu dicontoh.
Inilah salah satu penyakit orang Indonesia yang kurang
baik, sikap esprit de corps yang
berlebihan. Jika ada seorang warga negara “diinjak” harga dirinya oleh orang
warga negara lain, misal TKI di luar negeri, terus kita membelanya itu adalah
sikap nasionalisme yang patut diacungi jempol. Lha kalau yang kayak gini
bukannya akan membuat bangsa semakin berjaya justru akan membuat bangsa
Indonesia semakin terpecah belah karena sikap esprit de corps membuat kita sibuk untuk membela rekan sejawat
dibandingkan instrospeksi diri dan korpsnya.
Saya tidak bisa membayangkan apabila esprit de corps terjadi kepada
sejarawan. Sebagai calon sejarawan saya tahu persis bagaimana seharusnya
seorang sejarawan bersikap. Apabila ada seorang sejrawan menulis sebuah karya
ilmiah yang berisi peristiwa sejarah maka sejarawan lain memberikan kritikkan
yang berlandaskan sebuah fakta dari sumber terpercaya sezaman seperti arsip dan
wawancara dengan pelaku sejarah dan analisis sejarah.
Saya tidak bisa membayangkan kalau sejarawan itu
mempunyai esprit de corps yang besar
seperti calon ibu dokter di atas. Apabila ada seorang sejarawan menulis sebuah
peristiwa sejarah dalam sebuah karya ilmiahnya, dan dalam karya ilmiahnya
tersebut terdapat sedikit kekeliruan maka semua sejarawan akan beramai-ramai
membantunya. Apa yang terjadi?? Terjadilah sebuah penyimpangan dan
pemutarbailkkan sejarah. Oleh sebab itu sejarawan dituntut sebuah sikap kritis
dari para sejarawan untuk menganalisa peristiwa-peristiwa yang ada agar
tercipta suatu sejarah seobjektif mungkin.
*15-03-2013
*15-03-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar