“Busyro
Muqoddas (Dosen UI-KPK)- dlm buku hasil disertasiny “HEGEMONI REZIM INTELIJEN”
menyatakan: terorisme di negeri ini smua hasil konstruksi intelijen negara
sendiri. (Banjarmasin Post 14/11), (Globalmuslim.web).” *sms 4-12-2011: 14.08
Demikianlah
sms dari seorang teman yang saya panggil “mbak” karena kebetulan umur beliau
lebih tua dari saya. Dari sms itu pula terjadi sebuah diskusi dengan beberapa
teman mengenai: Benarkah otak itu bisa dicuci?
Kebetulan
dalam diskusi ringan dan dadakan yang diadakan di dalam ruang pengap sebuah kos
tidak dihadiri oleh mahasiswa psikologi, atau minimal orang yang paham tentang
psikologi dan kejiwaan. Kalau saja ada, pasti akan lebih seru karena diskusinya
tidak hanya berdasar interpretasi masing-masing. Ada sebuah landasan ilmu
tentang kejiwaan yang menerangkan perihal cuci otak.
Beberapa
peserta diskusi tidak menyetujui kalau otak itu bisa dicuci. Melainkan
didoktrin sesuai keinginan sang pendoktrin. Sejarah membuktikan kalau rakyat Indonesia
pernah didoktrin pada masa Orde Baru. Kita dicekoki melalui berbagai sarana dan
prasarana bahwa yang namanya PKI adalah penjahat dan dalang dari tragedi G 30
S.
Apa
yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu mungkin tidak terlalu ekstrem.
Hanya mengubah image rakyat terhadap Faham Komunis di Indonesia. Beda halnya
dengan para tersangka terorisme yang melakukan bom bunuh diri dengan
mengatasnamakan jihad. Sebagai orang normal pasti akan berfikir seribu kali
sebelum melakukannya. Kalau benar-benar ingin berjihad mengapa tidak pergi saja
ke Afghanistan atau Palestina? Kenapa harus melakukan bom bunuh diri di negeri
sendiri?
Kalau
mau melihat fakta di lapangan, tidak sedikit umat Islam yang menjadi korban.
Misalnya kasus bom bunuh diri di Masjid Polres Cirebon. Para Jama’ah yang
hendak melaksanakan Shalat Jum’at dikejutkan oleh bom yang meledak tiba-tiba.
Bahkan Kapolres menjadi salah satu korban.
Cuci
otak mungkin memang ada dan bisa dilakukan. Teringat cerita seorang anggota
Brigif 6. Awalnya saya sebagai ketua panitia acara Kuas Pena memerintahkan anak
buah di sie transportasi mencari kendaraan untuk mengangkut peserta menuju
tempat acara. Dilihat dari pengalaman yang pernah terjadi, tidak ada bus yang
sanggup mencapai lokasi dikarenakan terlalu tinggi.
Setelah
memutar otak, truk tentaralah menjadi alterrnatif dengan pertimbangan bahwa
truk tentara kuat mencapai tempat yang tinggi karena sering membawa “anggota”
naik-turun gunung untuk latihan. Singkat cerita saya ngobrol dengan sopir truk
yang juga anggota Brigif. Dia bercerita, dulu ketika masa pendidikan dia sampai
lupa siapa nama orang tuanya. Katanya lagi, pendidikannya pada masa itu sama
dengan cuci otak.
Ya,
saya tidak tahu pasti bagaimana sistem pendidikan di militer. Itu hanya
pendapat dari salah satu anggotanya. Yang terjadi pada tersangka teroris
mungkin juga adalah korban cuci otak. Sebagai orang normal yang taat beragama
pasti tidak akan mau melakukan bom bunuh diri, apalagi ini di dalam tempat
ibadah, Masjid.
Sesuatu
yang salah jika dikatakan seribu kali maka akan menjadi benar. Pesan Sun Tzu,
ahli strategi perang dari China. Begitulah salah satu cara bagaimana
mendoktrin. Kalau terus-terusan pasti akan menancap dalam pemikiran, entah itu
benar atau salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar