Total Tayangan Halaman

Sabtu, 28 Januari 2012

Pusat dan Pinggiran

Salah satu persoalan yang timbul dari penggunaan konsep ‘pusat’ dan ‘pinggiran’, adalah masalah relasi kedua konsep tersebut. Di sini juga terjadi kontradiksi dimana ibukota menyedot surplus ekonomi daerah-daerah  dan menggunakannya untuk kepentingan pembangunan ekonomi ibu kota itu sendiri. Muncullah ungkapan pembangunan keterbelakangan.
Model pinggiran pusat-pinggiran ini juga telah diterapkan di bidang-bidang lain, mulai dari bidang politik hingga bidang kebudayaan. Beberapa ilmuwan politik yang salah satunya, Stein Rokkan, menawarkan tentang tipologi tentang berbagai hubungan yang mungkin antara pusat territorial dan daerah pinggiran. Keindahan intelektual dari analisis, dalam arti dua konsep yang bertentangan namun saling melengkapi memang sangat menggoda.
Penggunaan konsep-konsep tersebut tentu mendorong adanya upaya untuk mencari gugus penyelidikan sejarah yang bermanfaat namun relative terabaikan. Sejarawan terbiasa mengkaji proses sentralisasi (pemusatan), tetapi mereka hamper tidak pernah mau menyelidiki proses peminggiran. Masalah lain muncul dari kenyataan bahwa sejumlah analisis, missal analisis Rokkan, menyiratkan adanya pandangan tentang masyarakat yang menekankan pada keseimbangan, sedangkan analisis Wallerstein lebih menekankan pada konflik.
Dengan adanya konsep pusat-pinggiran, maka muncul “Kontrol social” yang artinya konsep tradisional sosiologi yang menggambarkan tentang kekuasaan yang diterapkanmasyarakat atas individu-individu melalui hokum, pendidikan, agama dan lain-lain. Terhadap analisis ini mungkin ada baiknya memperkenalkan dua konsep, yaitu kekerasan simbolis dan negosiasi. Konsep kekerasan simbolis merujuk kepada pemberlakuan budaya kelas penguasa atas kelompok yang dikuasai. Negosiasi sejak mulanya dan secara harfiah untuk menganalisis tawar-menawar bayaran antara pengacara dank lien, telah diadaptasi secara luas untuk proses imbal beri antara dokter dan pasien atau antara pihak elite dan kelompok yang diperintah.
Penentangan (resistensi) sehari-hari berubah menjadi perlawanan terbuka atau semacam gerakan sosial. Gerakan-gerakan ini pada dasarnya berubah-ubah dan informal sifatnya dan bercirikan komunitas. Gerakan sosial juga terbagi menjadi dua tipe gerakan sosial, yakni apakah gerakan itu pada dasarnya untuk memulai suatu proses perubahan atau gerakan tersebut merupakan reaksi atas perubahan yang sedang terjadi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar