Total Tayangan Halaman

Senin, 21 November 2011

MILITER INDONESIA DAN POLITIK NASIONAL

Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya. Saat itu bangsa Indonesia mengalami ancaman, tantangan dan tekanan yang semakin hebat dari kekuatan-kekuatan kolonial yang hendak kembali menjajah Indonesia.
Keadaan itu tidak memperkecil hati bangsa kita, bahkan justru menimbulkan keberanian dan kesadaran rakyat Indonesia, bahwa kemerdekaan itu tidak cukup hanya di Proklamasikan saja, melainkan harus ditegakkan, dibela dan dipertahankan, bahkan bila perlu dengan mengorbankan jiwa dan raga sekalipun.
Sejak kelahirannya, militer di Indonesia memiliki posisi yang unik dalam pentas politik nasional. Terlihat militer Indonesia mempunyai nilai daya tawar politik yang menentukan dalam pencaturan politik nasional. Hal ini berakibat perimbangan kekuatan politik politisi sipil militer dalam pentas politik nasional sering kali mengalami tarik ulur kepentingan yang berakibat hubungan sipil-militer fluktuatif. Dalam masa demokrasi parlementer 1945-1959 otoritas pemerintahan sipil mampu mengendalikan organisasi militer dan sebaliknya militer dalam demokrasi terpimpin dan era rezim Orde Baru melahirkan supermasi atas otoritas sipil. Dalam periode ini, militer sering kali melakukan intervensi dalam menentukan vonis keputusan politik domain sipil. Melihat kekuatan politik militer yang domain di atas, menurut Salim Said setidaknya ada dua alasan yang menjadikan militer di Indonesia menempatkan dirinya sejajar dengan otoritas pemerintahan sipil:1) Militer lahir dari amanah penderitaan rakyat yang termanifestasi dalam laskar-laskar pejuang bentukan rakyat, bukan dibentuk oleh Negara. Atau kata lain militer lahir dari rahim rakyat bukan dari rahim Negara. 2) Militer ikut andil besar selama proses revolusi kemerdekaan. Oleh karena itu militer merasa berhak menentukan haluan saat ini dan ke depan atas kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
Dari latar belakang diatas penulis ingin menekankan bahwa yang dimaksud “militer” disini, lebih mengkhususkan pada angkatan darat, sebab dalam perkembangan yang berlangsung, angkatan darat selalu memegang peranan yang berada pada posisi yang betul-betul dominan dalam politik, dan penulis juga ingin meninjau beberapa perkembangan politk militer Indonesia dalam pentas politik nasional pada menjelang kemerdekaan, Orde Lama, hingga pada puncaknya pada Orde Baru.

  1. Militer dan Sejarah
Menurut: (Onghokham, 1983) militer adalah ahli perang atau ahli dalam menggunakan kekerasan. Dalam sejarah, perang merupakan jalan pintas untuk mencapai kekuasaan atau memperoleh kekayaan yang besar. pokoknya, untuk meningkatkan setatus. lebih dari golongan masyarakat lain, militer menerima persiapan dan latihan karirnya penggunaan senjata.
Adapun Yahya Muhaimin dalam dalam bukunya Militer dan Perkembangan Politik Indonesia: Suatu Pengantar, beranggapan salah satu organ yang  perlu dimiliki oleh pemerintah ialah militer, yang merupakan suatu kelompok orang-orang yang diorganisir dengan disiplin untuk melakukan pertempuran, yang diperbedakan dari orang-orang sipil yang tujuan pokok adanya militer dalam suatu Negara yaitu seperti dikatakan oleh Finer: untuk bertempur dan memenangkan peperangan guna mempertahankan dan memelihara eksistensi Negara.
Militer dapat diartikan sebagai angkatan bersenjata  dari suatu negara, atau segala sesuatu yang berhubungan angkatan bersenjata.
Mengenai ideologi militer di negara-negara yang baru merdeka, menurut Morris Janowits, tidak mungkin bisa menetapkan suatu macam ideologi pada militer di negara-negara yang baru merdeka, tetpai ada pola-pola ideologi tertentu yang secara umum terdapat di kalangan militer di negara-negara itu. Jadi pola-pola ideologi politik yang umum terdapat di negara-negara merdeka ialah; anti asing sebagai bentuk rasa kebangsaan yang amat kuat, anti korupsi dan dekadensi, usaha bersama atau gotong royong untuk menuju suatu perubahan, bersikap anti politik dan anti politisi sipil.    

  1. Kehadiran Tentara Nasional Republik Indonesia
Setelah proklamasi kemerdekaan, yaitu pernyataan berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, terjadi perebutan kekuasaan antara pejuang kemerdekaan dengan penguasa Jepang yang berada diwilayah Indonesia. Pada perebutan kekuasaan yang dipelopori oleh para pemuda, pelajar dan KNIL, bekas Heiho, bekas Peta, bekas Polisi dan sebagainya, tentara Jepang berhasil dilucuti dan persenjata serta peralatan perangnya dirampas. Senjata dan peralatan perang yang dirampas dari tentara Jepang ini menjadi modal para pejuang untuk melanjutkan perjuangannya melawan serdadu Belanda, persenjataan ini kemudian ditambah dari rampasan atau curian dari serdadu Belanda disamping persenjataan yang dibuat sendiri di dalam negeri.
Sehari setelah pernyataan Indonesia merdeka, sadar bahwa Negara ini membutuhkan tentara. Karena masih adanya ancaman yang kuat dari pihak Belanda yang ingin merongrong kemerdekaan Indonesia. Dengan alasan itu maka panitia Persiapan Kemerdekaan pada sidang tanggal 22 Agustus 1945, merumuskan tiga persoalan pokok, yang pernah dibahas didalam rapat-rapat sebelumnya, yaitu terbentuknya:
  1. Komite Nasional Indonesia
  2. Partai Nasional
  3. Badan Keamanan rakyat
Tujuan utama Komite Nasional Indonesia (KNI) dibentuk adalah untuk membantu pemerintah dan merupakan badan perwakilan rakyat sementara dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Selain itu juga untuk mendorong, memimpin dan memutar roda revolusi. Sedangkan BKR seperti halnya KNI dibentuk dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Dalam waktu yang singkat segera saja BKR kemudian banyak dimasuki kalangan pemuda, terutama para mantan anggota Peta dan KNIL. Akan tetapi sebenarnya baik sifat maupun esensi BKR tidaklah memuaskan mereka yang bergabung didalamnya. Dalam persepektif para anggota Peta dan KNIL seharusnya sesaat setelah proklamasi perlu segera dibentuk sebuah tentara resmi. Sedangkan di pihak lain, kecuali belum mendekritkan pembentukan tentara pada masa pembentukan kabinet, tanggal 19 Agustus pemerintah masih mengosongkan jabatan menteri pertahanan.
Ketika situasi kemudian menjadi semakin gawat saat pasukan sekutu mulai mendarat dan memerintahkan, Jepang tetap mempertahankan status quo Indonesia. Pemerintah baru benar-benar mempertimbangkan pembentikan sebuah tentara republik. Urip Sumoharjo, bekas mayor KNIL dipanggil dan diberi tugas untuk segera membentuk sebuah tentara. Akhirnya Tanggal 5 Oktober 1945 Soekarno menandatangani maklumat pemerintah tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sehari kemudian pemerintah mengangkat Supriyadi, bekas komandan Pleton Peta yang pernah memimpin pemberontakan peta di Blitar  sebagai Menteri Keamanan Rakyat.
Pembentukan TKR tetap belum memuaskan bagi anggotanya, terutama bagi yang memperoleh pendidikan militer. Dalam pandangan mereka pembentukan TKR masih memperlihatkan keragu-raguan pemerintah atas konsekuensi yang kemudian akan muncul dengan terbentuknya sebuah tentara negara. TKR tidak saja dianggap hanya menekankan segi ketentraman rakyat namun juga dinilai bukan merupakan tentara pertahanan atau militer profesional. Pengangkatan Soedirman sebagai panglima besar merupakan bagian dari reorganisasi yang pertama kalinya dalam tubuh tentara, yang ditandai dengan keluarnya maklumat peresiden Soekarno Tanggal 25 Januari 1926. Tanggal 5 Oktober 1945 Soekarno menandatangani maklumat pemerintah tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Tanggal 5 Mei 1947 kembali dikeluarkanya Dekrit Presiden tentang pembentukan sebuah panitia yang menangani reorganisasi kedua kalinya dalam angkatan perang. Panitia tersebut berhasil mengadakan perbaikan dalam tubuh angkatan perang dan juga memutuskan disahkanya Tentara Nasional Indonesia (TNI) tanggal 3 Juni 1947.   

D. Militer Indonesia dan Politik pada masa Orde lama 
Semejak tahun-tahun pertama Republik Indonesia berdiri, para perwira militer Indonesia sebenarnya sudah mempunyai kecenderungan untuk berpolitik sebagai prajurit revolusioner. Kecenderungan ini semakin kuat setelah pada tahun-tahun berikutnya mereka harus mengatasi bukan hanya ancaman dari luar (Belanda) tetapi juga mengatasi peristiwa politik yang kritis, yaitu teristimewa penculikan politik yang terjadi tanggal 3 Juli,1946, dan pemberontakan komunis di Madiun mulai nampak secara jelas pada tahun 1952 tatkala terjadi peristiwa yang kemudian terkenal dengan nama “Peristiwa 17 Oktober”. Kejadian yang kiranya tepat disebut politicio-military symptom tersebut meletus karena kepemimpinan sipil dianggap “selfish”, tidak bertanggung jawab, tidak efektif, penuh korupsi dan tidak berhasil dalam memerintah Negara yang baru merdeka itu, dan justru para perwira militer merasa memegang andil terbesar dalam mencapai dan menegakkan kemerdekaan pada masa 1945-1950. Sekalipun peristiwa yang lebih merupakan satu usaha kudeta itu gagal karena kharisma dan authority (otoritas) presiden Soekarno sebagai “bapak nasional”, namun fenomena partisipasi militer kedalam politik itu sama sekali tidak berhenti.
Pada bulan Juli 1958, militer diakui sebagai kekuatan politik “golongan fungsional” dan wakil-wakil militer berhasil didudukkan dalam lembaga Negara Dewan Nasional yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan berlakunya maklumat keadaan darurat bahaya perang. Sekalipun Dewan Nasional tersebut dikatakan “inkostitusional” tetapi merupakan badan Negara pusat yang amat besar peranannya didalam proses pembuatan keputusan politik saat itu. Pada saat itu mulai runtuhnya peranan partai-partai politik yang sejak berdirinya Republik tidak henti-hentinya bergulat dengan krisis politik, dan hancur pula nilai-nilai konstitusi. Semenjak masa itu dengan cepat partisipasi militer didalam politik dan pemerintah menjadi semakin mantap, terutama sesudah militer dalam waktu singkat berhasil mengatasi krisis nasional pemberontakan PRRI, yang mengakibatkan tersingkirnya kelompok perwira “radikal” dalam tubuh militer angkatan darat dan tampilnya Jendral Nasution secara dominan dalam percaturan politik nasional sebagai pimpinan militer. Pada saat ini dalam kerangka hubungan kekuasaan antar militer dengan Peresiden Soekarno, pimpinan militer dibawah Nasution melakukan political switch dari penganut garis radikal  ke garis moderat. Politik moderat ini yang memberikan hasil gemilang bagi militer terutama dengan diakuinya golongan militer sebagai salah satu kekuatan politik dari golongan fungsional pada tahun 1958 dalam kehidupan politik nasional sejajar dengan partai-partai politik. Sejak tahun 1959, wakil-wakil militer menduduki posisi-posisi penting dalam kabinet di bawah Presiden Soekarno, sebagai menteri.
Pekembangan yang berjalan antara tahun 1959-1965 menunjukan suatu pergulatan sengit tapi terselubung antara militer melawan partai komunis indonesia  sebagai satu – satunya partai politik yang dominan karena perlindungan Soekarno. Pada masa ini Presiden Soekarno berhasil memerankan penyeimbang kekuatan antara militer dan PKI. Tatkala timbul krisis nasional pada akhir 1965 hingga awal 1966 sebagai akibat gagalnya kudeta gerakan 30 September yang dikendalikan oleh PKI, pimpinan militer menjalankan politik garis moderat dengan versi yang sangat menarik sementara bertindak amat keras dan radikal membinasakan kekuatan PKI sebagai kekuatan politik yang telah lama dirasakan mengancam kepentingan politik militer, pimpinan militer bertindak halus dalam menghadapi Presiden Soekarno yang secara terbuka tetap melindungi PKI. Dalam waktu relatif pendek politik moderat berhasil menggeser kekuasaan Presiden Soekarno untuk diraih oleh kekuatan militer yang terjadi pada bulan Maret 1966, saat Jendral Soeharto diberi mandat oleh Presiden Soekarno untuk memegang dan melakukan wewenang eksekutif paling besar dengan surat mandat dari Presiden Soekarno yang terkenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret.

  1. Militer dan Orde Baru
Historiografi politik Orde Baru diawali oleh sejarah kekerasan dengan munculnya Peristiwa Gerakan 30 September dan jatuhnya Soekarno. Logika politik yang diambil dari konsep keteraturan politik, mengharuskan militer campur tangan terlalu besar pada bidang politik, terutama untuk menciptakan stabilitas politik. Stabilitas politik dianggap sebagai kunci utama dalam menangani persoalan ekonomi negara yang mengalami masa-masa sulit di era Orde Lama.
Langkah-langkah stabilitas politik Orde Baru dilakukan dengan berbagai cara, yakni pertama, dibentuknya struktur politik bayangan penyejajaran struktur organisasi teritorial TNI-AD dengan struktur birokrasi pemerintahan sipil dari pusat hingga kecamatan. Kedua, adanya pengendalian yang dilakukan oleh militer terutama pada partai yang berbasis ideologi marhaenisme yang dianggap sebagai warisan politik Soekarno dan kelompok partai Islam yang selalu dicurigai. Ketiga, adanya pembatasan partisipasi politik massa, dengan diterapkannya depolitisasi massa dan deparpolisasi  pada tingkat pedesaan melalui politik masa mengambang untuk mencapai standar baku stabilitas politik demi mempertahankan kekuatan rezim Orde Baru. Di masa Orde Baru ABRI yang diharapkan benar-benar diharapkan menjadi bhayangkari negara justru lebih menonjolkan diri sebagai penjaga keamanan rezim Soeharto. Demi terjaganya stabilitas rezim ABRI baik diperintah atau atas kehendak sendiri berbuat semena-mena pada masyarakat yang dilakukan atas nama persatuan dan kesatuan bangsa. Akan tetapi yang tumbuh dalam masyarakat bukan rasa perasatuan dan kesartuan bangasa melainkan rasa kebencian dan  dendam antar kelompok yang  menjurus pada rasa disintergrasai nasional dan sosial. Republik ini adalah milik rakyat bukan milik penguasa. Jika martabat rakyat sudah tersentuh muncul sikap kritis rakyat baik berbentuk partisipasi politik yang moderat atau pemberontakan.
Di masa Orde Baru menjadi warga negara yang kritis sangat dilarang melalui sistem kekuasaan yang terpusat pada satu tangan, partisipasi rakyat sangat dipegang. Kekuatan politik atau sosial yang muncul langsung dilumpuhkan karena dianggap akan membahayakan rezim.
Kekerasan yang dilakukan oleh militer dalam pemilu Orde Baru awalnya dimaksudkan untuk menyelamatkan restrukturisasi politik yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Tetapi akhirnya kekerasan tersebut digunakan untuk melindungi kekuasaan perseorangan (Soeharto) melalui mesin politiknya, Golkar. Berbagai  aksi kekerasan yang dilakukan oleh jajaran militer pada pemilu Orde Baru bukanlah aksi bela negara melainkan suatu kejahatan politik yang terorganisasi.
Pada pemerintahan Soeharto hampir seluruh tindakan kekerasan yang dilakukan militer selama pemilu Orde Baru; pertama, menggunakan ketrampilan yang rapi dan profesional. Kedua, tindakan tersebut dilakukan dengan fasilitas dari kewenanganya yang seharusnya dilakukan untuk melindungi rakyat. Ketiga, mereka dilatih secara resmi dan dicukupi kebutuhan dananya untuk memproduksi kekerasan politik. Keempat, hubungan antara pelaksana tindak kekerasan politik dan pemberi perintah didasarkan oleh kehendak untuk mengendalikan berbagai tindakan kritis lain yang berseberangan dengan penguasa. Kelima, absolutisme kekuasaan atau kehendak untuk mempertahankan kekuasaan yang berperan penting sebagai motif yang menginisiasi tindak kekerasan politik.
Bentuk–bentuk kekerasan politik yang dilakukan oleh militer pada pemilu Orde Baru meliputi intimidasi dan kekerasan fisik. Labelisasi anggota orgaisasi terlarang pada pemilih diluar Golkar merupakan cara efektif untuk melakukan intimidasi. Kekerasan politik dilakukan melalui lembaga komando operasi pemulihan keamanan dan keketertiban baik secara sembunyi–sembunyi maupun secara terang–terangan. Penangkapan dan penghilangan secara paksa dilakukan kepada siapa saja yang dianggap kritis dan di indikasikan akan menggagalkan kemenangan Golkar. Tindak  kekerasan militer tersebut juga mengakibatkan tidak berjalannya mekanisme pemilihan umum yang luber dan jurdil sebagai salah satu prasyarat demokratisasi.
Untuk mengatasi hal ini tidak saja dibutuhkan penataan kembali peran militer dalam kehidupan politik tetapi juga ditumbuhkan intitusi-istitusi politik yang dapat bertahan. Kondisi ini hanya dapat dicapai apabila keterampilan politikus sipil memadai. Keterampilan politik diperlukan untuk mengembangkan sebuah sistem politik yang aktif dan berkelanjutan.

  F. Tinjauan Dwi Fungsi
ABRI lahir besama-sama dengan meletusnya revolusi rakyat, ia lahir dari anak-anak rakyat sendiri. ABRI adalah angkatan bersenjata yang lahir dan tumbuh dengan kesadaran untuk melahirkan kemerdekaan, membela kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan. ABRI pertama-tama adalah angkatan bersenjata perjuangan dan baru setelah itu adalah angkatan bersenjata profesional. Setiap parajutit ABRI pertama-tama adalah pejuang prajurit baru kemudian adalah prajurit pejuang. Kelahiran dan pertumbuhan ABRI yang demikian itu membuat ABRI juga berhak dan merasa wajib ikut menentukan haluan negara dan jalannya pemerintahan. Inilah sebab ABRI mempunyai dua fungsi yakni sebagai kekuatan militer (pertahanan dan keamanan) yang merupakan alat negara dan sebagai kekuatan sosial politik yang merupakan alat perjuangan rakyat.
Dwi fungsi ABRI adalah suatu konsep politik yang menempatkan ABRI  baik sebagai kekuatan hakim maupun sebagai kekuatan sosial politik dalam supra maupun infra struktur politik sekaligus. Struktur yang demikian itu telah diatur melalui peraturan perundang – undangan yang ada. Struktur yang demikian tidak ditemukan dalam sistem negara yang menganut paham demokrasi liberal maupun parlementer. Perbedaan tersebut tidak hanya pada struktur namun juga pada mekanismenya.
Walaupun Dwi fungsi ABRI dalam perkembanganya telah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem demokrasi Pancasila harus diakui secara jujur bahwa masih ada sementara pihak yang mempersoalkan eksistensinya. Mereka yang menolak Dwi Fungsi ABRI menggangap bahwa tidak seharusnya ABRI menempati jabatan – jabatan diluar fungsi hukum, karena menggangap bahwa jabatan tersebut merupakan posi golongan sipil. Mereka mengemukakan bahwa keberadaan    ABRI diluar fungsi Hankam disebabkan oleh adanya keadaan darurat dimasa lalu yang dipertahankan. Maka kritik yang tajam dilontarkan dengan mengatakan bahwa konsep Dwi Fungsi ABRI adalah merupakan “pembenaran” terhadap keadaan darurat yang hendak dipertahankan tersebut.
Dalam tinjauan terhadap Dwi Fungsi ABRI dari segi sejarah secara umum, sejak lahirnya ABRI telah memiliki Dwi Fungsi. Kedua fungsi itu telah dilaksanakan dengan berhasil, baik dalam masa perang gerilya melawan tentara Kolonial dan pada masa pergolakan berikutnya, maupun teristimewa pada masa pembangunan seperti sekarang ini. 
Dalam perkembanganya ditinjau secara konstitusionil, Dwi Fungsi memang tidak selalu sesuai dengan (UUD) yang berlaku pada sewaktu-waktu di Indonesia, misalnya pada masa berlakunya UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) dan UUD sementara, yang secara jelas menganut sistem ketatanegaraan berdasarkan demokrasi liberal. Pada waktu itu angkatan bersenjata dianggap semata-mata sebagai alat kekuasaan Negara saja.
Walaupun dilihat dari segi kedua UUD itu, adanya Dwi Fungsi dipandang inkonstitusional, namun dalam kehidupan sehari-hari pada waktu itu pejabat – pejabat militer dipandang masih diperlukan peranan dan pengaruhnya dalam berbagai hal yang menyangkut urusan dan bangsa, terutama pada saat-saat Negara mengalami krisis, misalnya pada waktu terjadi pemberontakan-pemberontakan, ketika konstituante terancam jalan buntu, perjuangan pembebasan Irian Barat ( IRBAR), sekarang Irian Jaya (IRJA), dan lain-lain peristiwa gawat yang mengancam keamanan, keselamatan dan keutuhan Negara.
Dengan menggunakan pendekatan sejarah jelas nampak proses perkembangan Dwi Fungsi ABRI tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sistem ketatanegaraan dan sistem politik  di Indinesia. Keberadaanya sebagai kekuatan sosial politik yang telah melekat  sejak kelahiran ABRI, secara nyata memang telah diterima oleh rakyat, karena peranannya memang secara nyata-nyata telah diperlukan bagi kelangsungan sistem ketatanegaraan dan sistem politik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Secara deskriptif analitis digambarkan bahwa dalam keadaan “kritis” ABRI selalu tampil dengan konsep yang jelas. Perintah kilat Jendral Sudirman no 1/ PB/D/48 dan istuksi bekerja pemerintah militer seluruh jawa no1/MBKD/1948 misalnya adalah contoh bahwa ABRI telah mengambil keputusan yang tepat dengan konsep yang jelas. Sebagai mana diketahui instruksi no1/MBKD/1948 dari Kolonel Nasution berbunyi sebagai berikut: 1. republik harus tetap berjuang sebagai negara, 2. pemerintah harus berjalan terus, dan .3. pemerintahan militer adalah satu-satunya alat perjuangan. Keadaan yang demikian itu selau berulang sewaktu bangsa Indonesia menghadapi krisis , seperti misalnya pada saat menghadapi bahaya laten komunis, baik pada masa demokrasi terpimpin maupun pada masa penumpasan G30S/PKI.
Kekhawatiran beberapa pihak bahwa Dwi Fungsi ABRI akan mengarah kepada pemerintahan yang otoriter sebenarnya tidak perlu ada, karena ABRI sebagai kekuatan sosial politik telah merupakan bagian dari sistem demokrasi Pancasila yang mekanismenya telah diatur oleh peraturan perundang-undangan yang ada. Pasal 28 Undang-undang no 20 Tahun 1982 menjamin bahwa ABRI tidak akan menjadi diktator, karena justru berkewajiban untuk menumbuhkembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasarkan UUD 1945 dalam segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional.  
Dari sejarah perkembangan sosial politik tersebut tebukti bahwa fungsi ini telah diterima oleh masyarakat, bahkan diakui urgensinya namun perlu masih dimantapkan landasan hukumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar