Total Tayangan Halaman

Rabu, 23 November 2011

PARTAI KOMUNIS INDONESIA SEBELUM MASA KEMERDEKAAN

Tepat di awal Abad 20 (sekitar 1900-an  awal),  sejarah  sosial di Hindia Belanda menggeliat kencang. Kurun waktu itu tanah koloni Belanda di Nusantara ini sibuk menjemput aneka inovasi, baik dalam  bidang budaya, pemikiran, perdagangan, dan bahkan perangkat teknis (teknologi).
Di ranah budaya, misalnya, kaum  pribumi sedang bergairah dengan hidangan hiburan “modern”,  seperti seni teater (dikenal dengan teater Stamboel),  tayangan “gambar idoep” atau film, dan tumbuhnya elit-elit terdidik di kalangan  ningrat dan kelas “atas”. Sementara di bidang pemikiran, bumi Hindia Belanda ramai dengan ide-ide baru, termasuk gagasan pembaruan ke-Islaman (terutama oleh SI, Muhammadiyah, dan  dalam  hal tertentu juga NU). Lantas di bidang teknologi, dengan pengaruh sosial yang meluas, adalah semakin kuatnya itikad kumpeni Belanda melakukan pembaharuan infrastruktur,  misalnya jaringan kereta api, trem, dan pabrikasi (terutama  industri gula).
Dalam celah perubahan sosial itulah komunisme masuk, awalnya oleh Sneevilt, Adolf Deboer dan puluhan Belanda atau Eropa lainnya. Partai ini didirikan pada tahun 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan  awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda,  yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda. Pada Oktober  ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.
Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.
Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara Merdeka". Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu  tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan  soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan  soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.
ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia.
Pembentukan Partai Komunis
Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam  melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan  pergerakan Indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai.
PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920. Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pemberontakan 1926
Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.
Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.
Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawh tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia, yang tak lama kemudian berada di dalam kontrol PKI.
Sejujurnya, fakta inilah yang bisa dijadikan  pintu masuk, jika ingin menyelami proses perkembangan PKI yang sedemikian progresif-revolusioner. Betapa sebuah ide baru, di tengah rakyat yang terjajah dan  (sebagian besar) buta huruf, yang mayoritas Islam, bisa menggerakan politik revolusioner dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (tak lebih dari 10 tahun PKI mampu  melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Wong Londo).
Tambahan lain, betapapun PKI adalah bagian dari eksperimen politik perlawanan terhadap penjajah Belanda, dan mengisi kekosongan gerakan rakyat yang saat itu masih mencari bentuk.
Tanpa mengenyampingkan peran sejarah Boedi Oetomo, Sarekat Islam, dan perserikatan kebangsaan lain di waktu itu, tetap saja tertinggal beberapa langkah dari PKI. Setidaknya dalam aksi-aksi real politik, seperti pemogokan, demonstrasi acak, boikot, atau bahkan  propaganda serta agitasi yang terbuka.
PKI Populis
Meski sulit, terutama alam pemikiran Indonesia yang pekat dengan communistophobia (anti komunis), kita bisa melakukan penalaran obyektif terhadap kontribusi PKI dalam sejarah sosial di tanah air. Minimal, dengan mencacah karakter gerakan yang mereka perlihatkan. Berbeda dari sebelumnya, seperti perlawanan perang Atjeh, perang Dipenogoro, Perang Maluku, dan Perang Paderi di Minangkabau, yang sempat menguras energi militer Belanda, toh, masih kental dengan spirit “regional-kultural”. Di sini, PKI berbeda (bahkan dengan Boedi Oetomo dan SI). Gerakan PKI, harus diakui, memiliki corak modern, dengan mengusung gerakan yang bersifat internasional (misalnya dukungan cominteren Rusia, dan beberapa kelompok komunis di Eropa), ideologis, dan plural.
Sifat internasional PKI dan sekaligus dinamika nasionalnya (yaitu tumbuh geraknya di Indonesia). Pada 1924, PKI beranggotakan 1.000 orang, pada saat itu pula partai dipandang sebagai memiliki pengikut dan simpatisan terbesar di antara kelompok politik lain di Indonesia. Karena hubungan PKI tidak dibatasi hanya dengna kaum elite, tidak ada upaya membatas partai hanya untuk kalangan terdidik, dan melibatkan masyarakat modern dan tradisional.
Mari perlakukan keterangan itu untuk memenuhi interpretasi yang adil, misalnya dengan memancang acuan dari teori tafsir sosial dari Emile Durkheim, yang mengatakan bahwa “perlakukanlah fakta sosial sebagai perihal saja (thing)”. Panduan ini cukup aman dipakai, untuk memberi apresiasi terhadap PKI —terutama di frase awal sejarahnya.
Konteks kontribusi sejarah sosial PKI adalah proses paling awal yang memperkenalkan Indonesia dengan politik populis, disertai dengan kerja-kerja terorganisir. Jangan lupa, saat itu, faktor kepemimpinan PKI yang sesungguhnya sangat berkelas. Sneevilit, misalnya, adalah “alumni” serikat buruh PKI di Belanda, yang berpengalaman dengan teori-teori marxis dan terlatih mengorganisasi kekuatan. Juga Adolf Deboer, yang sangat militan, idealis, serta pandai merancang kampanye publik.
Bahwa tokoh-tokoh pertama PKI di Indonesia, meski sebagian besar digodok di Sarikat Islam, adalah orang-orang cerdas dan sangat intelektual, sehingga memiliki kharisma mendalam. Sebut saja, misalnya Semaun, Alimin dan Darsono, yang rata-rata memiliki kepandaian berbahasa (Perancis, Inggris, dan tentu saja Belanda). Modal itu, tentu memperlancar gerakan politik mereka dalam  meraih dukungan massa.
Kontra Islam (?)
Bagian menarik lain, adalah strategi PKI memasang blok dari dalam terutama di tubuh SI. Dalam perjalanan, taktik ini membuat PKI kian mengakar dan bahkan mampu memperoleh dukungan signifikan dari kalangan Islam  multi corak (bukan hanya Islam Abangan dan sekuler, tetapi juga Islam Religius, seperti di Solo melalui Haji Misbach, di Banten, di Semarang, Palembang, dan Minangkabau via Datuk Batuah, dan tempat-tempat lain).
Terlalu gampangan bila menyebut pola-pola ini culas,  jika tanpa disertai informasi bahwa semangat  zaman  waktu itu terlampau menjengkelkan bagi darah perlawanan yang bergolak. Daripada sebagai peralihan  ideologis, perpindahan Tokoh Islam SI ke PKI, lebih banyak berpola kekecewaan dan ketidaksabaran. Lantaran melihat SI yang sudah memudar dan tidak lagi kuat sebagai organisasi perlawanan. Di sini berlaku petuah musykil, bahwa siapa cepat, siapa dapat. PKI saat itu adalah organisasi politik paling cepat bergerak dan memiliki keberanian untuk melakukan perlawanan terbuka. Meski demikian, adalah juga fakta bahwa perseteruan antara tokoh-tokoh Islam dengan PKI telah berlangsung lama dan tajam, misalnya di tingkat visi dan metode.
Saat itu gerakan komunisme internasional dan  juga PKI, tidak memasang tembok tebal terhadap kelompok Islam —melainkan justru membacanya sebagai sekutu dan mitra aliansi strategis. Misalnya di Rusia, meski Lenin membenci Islam, tetapi ia mampu berkompromi, mengingat kekuatan aliansi Islam di dalam dan sekitaran Rusia, yang merupakan mayoritas terbesar (misalnya di Bukhara dan Turki). Sementara di tanah air, beberapa tokoh PKI,  seperti Tan Malaka,  justru terkesan sangat membela Islam (barangkali karena faktor latar budayanya yang Minang). Tak berlebihan, bila hubungan PKI dan Islam saat itu bersifat dialektis —dan belum tercemar oleh noda sejarah apapun, berbeda dengan saat ini.
Celah Revolusi
Tumbuh dengan cepat sekaligus tumpas dalam sekelebatan, maka PKI segera runtuh oleh pemberontakan yang gagal —-di 1926-1927. Imaji-imaji pemberontakan PKI dalam  hal ini patah oleh ketiadaan basis yang solid. Tan Malaka misalnya, yang memang sama sekali tak setuju dengan skenario Prambanan (yang merancang pemberontakan 1926 ini), melihat kegagalan itu dengan getir. Menurutnya, agenda terpenting PKI adalah justru membebaskan alam pikir masyarakat Indonesia yang masih tersaput oleh mistisme, feodalisme dan perbudakan.
Begitu pun Semaun juga melihat faktor kegagalan karena belum cukup kader dan organisasi yang tidak kuat. Masih banyak interpretasi lain tentang tumbangnya PKI saat itu, termasuk yang “mencurigai” provokasi dengan sengaja dari Pemerintah Belanda —yang memancing teror di masyarakat, untuk kemudian menuduh PKI sebagai pelakunya.
Begitulah, seperti nasehat Emile Durkheim, bahwa jika kita melihat sejarah sosial sebagai perihal biasa atau thing, maka akan berujung  pada tatapan yang nyaman. Bahwa bagaimanapun, PKI adalah pernah menyebar benih perlawanan, menggerakan revolusi, sekaligus menjadi tumbal eksperimen politik nasional. Mau tak mau, untuk saat itu, peran politik PKI memang tak tergantikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar