Total Tayangan Halaman

Senin, 28 November 2011

PETISI SOETARDJO

Dalam kerangka politik kooperatif arena politik memang sudah tertutup rapat terhadap massa aksi, namun ruang gerak masih leluasa untuk membangkitkan kesadaran nasional serta gerakan-gerakan atau aksi-aksi yang dapat mengkonsolidasi solidaritas dalam dan anter partai. Salah satu titik pengerahan gerakan itu ialah apa yang kemudian dikenal sebagai Petisi Soetardjo.
Gagasan dari petisi ini dicetuskan oleh Sutardjo Kartohadikusuma. Ketua Persatuan Pegawai Bestuur/Pamongpraja Bumiputra (PPBB) dan wakil dari organisasi ini didalam sidang Voksraad pada bulan Juli 1936. Petisi ini diusulkan di luar tanggung jawab PPBB. Landasan usul adalah pasal 1 Undang-Undang Dasar kerajaan Belanda yang berbunyi bahwa kerajaan Nederland meliputi wilayah Nederland, Hindia Belanda, Suriname dan Curacao, yang menurut pendapat Sutardjo keempat wilayah itu didalam kerajaan Nederland mempunyai derajat sama. Usul tersebut didukung oleh Ratu Langie, Datuk Tumenggung, Alatas, I.J Kasimo, dan Ko kwat Tiong. Dukungan ini menurut Sutardjo mencerminkan keinginannya bahwa usul petisi didukung oleh berbagai golongan suku bangsa dan agama yang ada di Indonesia.
Usul petisi yang kemudian dikenal dengan nama Petisi Sutardjo, diajukan pada tanggal 15 Juli 1936 kepada Pemerintah, Ratu serta Staten Generaal di Negeri Belanda. Adapun isi petisi itu ialah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dimana anggota-anggotanya memiliki hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana yang isinya adalah pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda. Pelaksanaanya akan dijalankan secara berangsur-angsur dalam waktu sepuluh tahun atau dalam waktu yang akan ditetapkan oleh siding permusyawaratan itu.
Usul yang menyangkut perubahan susunan ketatanegaraan ini timbul karena makin meningkatnya perasaan tidak puas dikalangan rakyat terhadap pemerintahan akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal de Jonge. Padahal menurut Sutardjo, hubungan baik antara Indonesia dengan negeri Belanda perlu ditingkatkan untuk kepentingan kedua belah pihak lebih-lebih adanya bayangan bahaya pecahnya perang di Psifik. Hubungan ini akan berhasil apabila diusahakan perubahan-perubahan dalam bentuk dan susunan pemerintahan Hindia Belanda. Adapun perubahan-perubahan itu dalam garis besarnya adalah sebagai berikut:
-          Pulau Jawa dijadikan satu propinsi, sedangkan daerah-daerah di luar pulau Jawa dijadikan kelompok-kelompok daerah yang bersifat otonom dan berdasarkan demokrasi.
-          Sifat dualisme dalam pemerintahan daerah dihapus
-          Gubernur Jendral diangkat oleh Raja dan mempunyai hak kekebalan
-          Direktur Departemen mempunyai tanggung jawab
-          Volksraad dijadikan parlemen yang sesungguhnya
-          Raad van Indie: anggota-anggota biasa dan seorang Vice Presidentdiangkat oleh Raja, disamping itu ketua dan wakil ketua Volksraad sebagai anggota mempunyai hak suara
-          Dibentuknya dewan kerajaan Rijksraad sebagai badan tertinggi antata Negeri Belanda dan Indonesia, yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil kedua daerah dengan satu pimpinan yang diangkat, pimpinan mana bukan seorang menteri atau direktur atau salah seorang dari ketua parlemen
-          Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul dan cita-citanya adalah untuk Indonesia. Terhadap orang-orang asing yang dilahirkan disini diadakan seleksi yang ketat
Usul yang dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan umumnya mendapat reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun pihak Indonesia. Pers Belanda menuduh petisi sebagai suatu permainan yang berbahaya, revolusioner belum waktunya, dan tidak sesuai dengan keadaan. Dari pihak Indonesia baik di dalam maupun di luar Volksraad reaksi terhadap usul petisi juga bermacam-macam. Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap, dan tidak mempunyai kekuatan.
Akhirya tanpa pemilihan suara dalam siding Volksraad, usul petisi diterima untuk dibicarakan dalam sidang khusus yang dimulai tanggal 17 September 1936. Dari perdebatan yang dilakukan didalam siding Volksraad, disamping kelompok pengusul sendiri, terdapat tiga kelompok yang mempunyai pendapat yang berbeda-beda, bahkan dalam tiap kelompok itu sendiri terdapat pula perbedaan pendapat.
1.      Kelompok van Helsdingen, Notosoeroto, terdiri dari wakil-wakil: Christelijke Staatspartij, Vaderlandsche Club, Ondernemersgroep, Indische Katholieke Partij dan beberapa anggota organisasi lainnya yang menolak usul petisi karena rakyat Indonesia belum mampu untuk berdiri sendiri.
2.      Kelompok Sukardjo Wirjopranoto yang terdiri dari beberapa anggota fraksi Nasional, yang dengan tegas menolak usul petisi karena tidak ada gunanya. Soekardjo berpendapat petisi ini dapat melemahkan bahkan mematikan cita-cita Indonesia merdeka.
3.      Kelompok Suroso, yang terdiri dari wakil-wakil fraksi Nasional PEB, IEV dan beberapa nasionalis lainnya. Mereka berpendapat bahwa Indonesia sudah cukup matang dan sudah sepantasnyalah pemerintah Belanda memberikan lebih banyak hak-hak kepada Indonesia.
Pada tanggal 29 September 1936 selesai siding perdebatan, diadakanlah pemungutan suara dimana petisi disetujui oleh Volksraad dengan perbandingan suara 26 suara setuju lawan 20 suara menolak. Dan pada tanggal 1 Oktober 1936 petisi yang telah menjadi petisi Volksraad itu dikirim kepada Ratu, Staten-Generaal, dan Menteri Koloni di negeri Belanda.
Sementara menunggu keputusan diterima atau tidak usul petisi tersebut maka untuk memperkuat dan memperjelas maksud petisi, pada persidangan Volksraad Juli 1937 Soetardjo kembali mengajukan usul rencana Indonesia menuju "Indonesia berdiri sendiri". Rencana tersebut dibagi dalam dua tahap, masing-masing untuk lima tahun. Atas usul tersebut wakil pemerintah Hindia Belanda dalam sidang Volksraad menjawab bahwa pemerintah juga mempunyai perhatian ke arah perbaikan pemerintahan Indonesia, tetapi karena usul itu amat luas sekali maka penyelesaiannya berada di tangan pemerintah di negeri Belanda dan Staten General.
Petisi ini kembali banyak menimbulkan tanggapan dari organisasi-organisasi gerakan rakyat seperti: Perhimpunan Indonesia (PI), Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi), Gerakan Rakjat Indonesia (GERINDO), Perkumpulan Katholik di Indonesia (PPKI), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), PNI, dan sebagainya.  Masing-masing organisasi tersebut ada yang menyetujui usul tersebut dan adapula yang tidak. Pada persidangan Volksraad bulan Juli 1938, Gubernur Jenderal Tjarda secara samar-samar telah membayangkan bahwa petisi akan di tolak. Laporan Gubernur Jenderal kepada menteri jajahan (berdasarkan laporan-laporan antara lain dri Raad van Nederland-Indie, Adviseur voor Inlahdse Zaken. Directeur van Onderwijs en Eredientst, telah menyarankan supaya petisi ditolak dengan alasan isi kurang terang. Juga mengingat ketidakpastian akan kejadian-kejadian di masa yang akan datang ini, maka tidak dapatlah disetuju keinginan untuk mengadakan konfrensi untuk menyusun rencana bagi masa yang akan datang.
Akhirnya ia menyarankan bahwa biar bagaimanapun petisi harus di tolak sehingga perubahan prinsipil bagi kadudukan Indonesia dan mengadakan konfrensi itu tidak perlu diadakan. Akhirnya dengan keputusan kerajaan Belanda No. 40 tanggal 14 November 1938, petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu Belanda. Alasan penolakannya antara lain ialah: "Bahwa bangsa Indonesia Belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri". Surat keputusan itu disampaikan pada sidang Volksraad tanggal 29 Nopember 1938.
Penolakan yang diambil tanpa keputusan sidang staten General itu sangat mengecewakan para pemimpin pergerakan rakyat Indonesia. Sutardjo sebagai pencetus ide petisi menyatakan bahwa penolakan yang dilakukan terhadap petisi telah memperlihatkan sikap sombong dan ceroboh pemerintah Belanda, disamping mendemontrasikan sampai seberapa jauh sebenarnya kedudukan Volksraad dalam pemerintahan. Ia memperlihatkan pemerintah Belanda, bahwa sikap yang diambil terhadap petisi adalah keliru.
Central Comite Petisi Soetadjo kemudian mengeluarkan suatu surat terbuka yang ditujukan kepada pengurus besar semua partai politik dan perhimpunan-perhimpunan bangsa Indonesia, isinya disamping menyesali cara-cara penolakan atas petisi, juga mengajak seluruh partai-partai untuk menentukan sikap atas penolakan petisi tersebut, dengan mengadakan suatu konferensi di Jakarta tanggal 27-29 Mei 1939. Maksud CCPS untuk mengadakan suatu konferensi akhirnya tidak dapat dilaksanakan karena pada waktu itu beberapa partai politik bermaksud akan mengadakan Nationale Concentatie yang kemudian setelah terbentuk bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Sehingga Soetardjo kemudian memutuskan bahwa tugas untuk memperjuangkan petisi selesai sudah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar