Total Tayangan Halaman

Rabu, 23 November 2011

PERBURUHAN DI SUMATERA TIMUR ABAD 19

Masyarakat perkebunan yang terbentuk di Sumatra Timur memiliki sifat yang paling unik. Terletak di pinggiran daerah jajahan, tumbuh cepat sebagai factor yang dominan, serta keberadaan majikan dan buruh yang bersifat sementara. Hegemoni para tuan kebun dan kekerasan yang menandai perlakuannya terhadap para kuli sangatlah menonjol untuk system di daerah rintisan seperti terwujud di Sumatra pada akhir abad ke-19. “Timur yang liar” rasanya istilah yang tepat untuk menyebut iklim social di daerah tersebut.
Pembukaan Buitengewest (Daerah Luar Jawa) merupakan langkah penting dalam menetapkan perbatasan imperium Belanda di Asia Tenggara. Sumatra pada paro pertama abad ke-19 adalah wilayah yang disengketakan oleh Belanda dan Inggris. Jalan menuju Asia Timur terhampar di dekat pantai Sumatra. Kalau hendak mencegah jatuhnya wilayah itu ke tangan Inggris, pemerintah Hindia Belanda harus hadir di wilayah itu secara nyata.
Namun demikian, persaingan dengan kekuatan asing bukan satu-satunya alasan mengapa pemerintah kolonial tergerak untuk mengisi kekosongan di daerah pinggiran. Dorongan melakukan ekspansi juga disebabkan oleh padatnya Pulau Jawa. Jawa dianggap “sudah habis”, sedang pulau-pulau lain di Hindia-Belanda masih memiliki ruang yang sangat luas. Para tuan kebun pada akhir tahun 1860-an membuka perusahaan mereka di Sumatra Timur dapat dianggap sebagai pelopor politik eksploitasi kapitalis.
Pada sekitar tahun 1885 mulai tampak jelas bahwa produksi tembakau di perusahaan-perusahaan perkebunan besar tidak akan bersifat sementara melainkan tetap. Pada akhir abad ke-19 kehidupan masyarakat sudah lebih beradab dan maju. Masyarakat Sumatra Timur bukan masyarakat liar, juga bukan gembel yang tak kenal aturan. Dulu memang demikian, tapi waktu telah berubah dan kini keadaan menjadi lebih baik.
Kegiatan pasar dilindungi terhadap persaingan dari pihak orang Asia. Jadi, intervensi nonekonomilah yang menyebabkan industry besar kapitalistis memperoleh cap Eropa dan untuk seterusnya bercap Eropa. Di kedua sisi Selat Malaka orang Cina sebagai minoritas ekonomi yang tumbuh cepat dihalau ke bidang perdagangan kecil dan perantara, dan kedua bidang itulah yang akhirnya mereka monopoli.
Campur tangan pemerintah kolonial kecil sekali peranannya di Sumatra Timur. Perusahaan swasta di sana mulai melakukan kegiatan dengan derajat otonomi yang cukup luas. Sistem kerja disusun menurut praktek-praktek yang sudah berlaku di Malaka. Ikatan antara khalayak Eropa di Sumatra Timur dan Malaya sangat erat, tidak hanya di bidang ekonomi tetapi juga di bidang social.
Para tuan kebun memanfaatkan ruang gerak mereka untuk menekan pemerintah. Akhirnya, ciri daerah kolonisasi Sumatra Timur ialah bahwa orang kesana bukan dengan niat menetap selamanya. Baik tuan kebun maupun kuli beranggapan bahwa mereka di sana hanya sementara.
Pemimpin perusahaan sangat senang mengganti tenaga kerja, yaitu tenaga kerja yang baru digantikan dengan tenaga kerja yang masih segar. Tenaga yang masih segar dapat membayar sendiri ongkos untuk mendisiplinkannya dan tidak terlalu banyak membutuhkan latihan untuk melaksanakan pekerjaan yang dibebankan kepadanya.   
Data tentang pesatnya pergantian tenaga kerja hamper tidak ada. Satu sumber hanya menyatakan bahwa setiap tahun sepersepuluh dari jumlah tenaga kerja itu dikeluarkan dan diganti dengan tenaga kerja yang baru. Lama setelah ekonomi perkebunan Sumatra Utara dibangun, daerah itu masih tetap berciri masyarakat pinggiran yang tipis lapisan atasnya  dan tebal lapisan bawahnya.
Plantokrasi
            Dalam gambaran mengenai kota pada abad ke-20 itu tekanan diletakkan pada sisinya yang nonpribumi. Perusahaan-perusahaan besar yang tergabung dalam Deli Maatschppij menciptakan kesan seolah negara dalam negara. Keadaan kelihatan berubah setelah staf aparat pemerintah diperkuat sejak tahun 1880-an.
Kepala-kepala Cina yang baik secara preventif maupun represif, bertugas mendisiplinkan orang setanah air mereka di perkebunan. Sedangkan pemerintahan pribumi berjalan sepenuhnyadalam bayangan birokrasi colonial. Tuan kebun yang akan membuka tanah harus tahu bahwa pejabat pribumu yang lebih rendah disbanding pejabat pemerintah colonial meminta bayaran sebagai imbalan atas kerja sama mereka.
Masa sekitar peralihan abad 20, sifat-sifat kasar dalam kehidupan tuan kebun lama-kelamaan aus. Sangat kurangnya unsur perempuan di Deli sesuai benar dengan gambaran Deli sebagai tempat transit yang masyarakatnya dikenal masih agak liar. Dari 688 orang Eropa yang ada di Sumatra Timur pada 1884, 540 orang diantaranya adalah lelaki, dan 148 orang perempuan. Pada 1900 perbandingan laki-laki dan perempuan menjadi lebih baik, yaitu ada 1578 orang laki-laki dari seluruhnya orang Eropa yang berjumlah 2079 orang.
Bagi lelaki Jawa, tanpa perempuan tidak mungkin ia bertahan hidup di perkebunan. Lelaki Jawa lekas merasa puas, sedang perempuannya gampang merasa terikat pada perkebunan tempat mereka tinggal. Hubungan dapat diikat dan diputuskan dengan mudah, dan itu mempercepat penyebaran penyakit kelamin.
Tuan kebun sebagai lelaki muda, agresif dan agak kasar harus tampil jantan. Dianggap wajar jika pegawai kulit putih mendapat hak pertama untuk memilih pada waktu kuli kontrak perempuan baru tiba di perkebunan. Tetapi, itu hanya untuk ikatan sementara.
Rasialisme dan Kekerasan
Di dalam struktur perkebunan superioritas orang kulit berhadapan dengan inferioritas Asia. Hubungan dikuasai-menguasai tidak bisa diubah-ubah lagi. Kuli kontrak tidak memiliki ciri-ciri yang kira-kira yang menjadikannya seorang pribadi. Sebutan untuk kuli seperti “orang busuk” dan “pelacur kontrak” dianggap biasa saja. Orang Cina dianggap penipu besar dan brutal, orang Jawa lamban, pemalas, dan pemarah sedang orang Keling pembuat rebut dan pengotor.
Antara kulit putih di satu pihak dan kulit sawo matang atau kuning di lain pihak tak mungkin ada warna campuran. Inilah sebabnya maka tak ada orang Indo-Eropa di perkebunan Deli, jadi kebalikan dari keadaan di Pulau Jawa. Dalam menempatkan pegawainya, pemerintah memperhitungkan konstelasi istimewa yaitu lingkungan yang rasialistis di Sumatra Timur.
Golongan tuan kebun Eropa di daerah itu dikenal angkuh luar biasa. Mereka menuntut agar para kuli member pengabdian lebih banyak dari yang biasa berlaku dalam masyarakat. Dalam hubungan kedua belah pihak, jarak antara kuli dan tuan kebun dilunakkan oleh semacam tanggung jawab kebapaan pihak tuan kebun. Tetapi, pada tuan kebun tipe yang lain jarak itu justru melebar menjadi jurang yang hamper tak terseberangi lagi.
Mantan Residen menceritakan kejadian pada masa lalu itu untuk menjelaskan bahwa semasa dinasnya sebelum akhir abad yang lalu, tidak ada lagi ucapan yang rasialistis. Namun, banyak contoh membuktikan bahwa pernyataannya sama sekali tidak benar. Perlakuan yang tidak manusiawi terhadap mereka sudah mulai tatkala mereka dikumpulkan dan kemudian diangkut sebagai barang ke Deli.
Kepada orang pribumi umumnya dan kuli khususnya diberikan segala macam ciri kolektif yang menyebabkan nilai-nilai kemanusaiaannya diragukan. Sedangkan orang Eropa hanya kurang sempurna dalam mempertahankan norma dan nilai-nilai yang dianggap wajar dan dibutuhkan dalam pergaulan masyarakat.
Iklim Kekerasan
Ordonasi kuli tidak membawa perubahan pada praktek-praktek jahat yang sejak semula sudah menjadi cirri perkebunan di Sumatra Timur. Padahal alasan pokok  memperkenalkan ordonasi itu pada tahun 1880 adalah memberikan perlindungan hokum kepada kuli kontrak. Pada 1886 dalam surat kabar Java Bode, Residen Sumatra Timur mendapat perintah dari Batavia untuk bertindak lebih keras terhadap perlakuan buruk pada kuli.
Seorang Amtenar di pulau singkep (Riau) menulis, “kuli-kuli di sini bermatian seperti tikus”. Seorang mantan residen memanfaatkan peristiwa itu untuk menuliskan dakwaan dengan gaya romantic-realistik yang diakhiri dengan pernyataan bahwa uraiaan mencerminkan situasi yang umum berlaku di banyak industry perkebunan dan pertambangan.
Tetapi, yang lebih menggoncangkan adalah keadaan di Rejan Sulit. Angka kematian di pertambangan yang dieksploitasi oleh perusahaan yang sama itu  tak kurang dari 37%. Yang lebih mengerikan menurut cerita bahwa angka kematian tinggi, mayat-mayat dicampakan begitu saja ke tanah seperti anjing atau dibuang begitu saja ke sungai.
Berbagai pelanggaran itu tetap tak diketahui oleh dunia luar, termasuk sesudah tahun 1897, ketika Cremer (mantan tuan kebun dan pemimpin terpenting lobi tuan kebun) terpilih menjadi menteri. Akan tetapi, banyak hal tertutup bagi orang luar yang kritis. Yang sangat mengejutkan misalnya, hasil penyelidikan Inspektur Dinas Kesehatan Umum Dokter A. G. Vorderman, tentang penderitaan pekerja paksa di pertambangan batu bara Ombilin di sawahlunto.
Dokter Vonderman dalam laporan sebelumnya telah mengusulkan agar hukuman cambuk dengan rotan kepada pekerja paksa yang melarikan diri dihapuskan. Inspektur Kesehatan itu telah meneliti cara pelaksanaan hukuman itu di 96 perusahaan di Jawa dan Madura. Kepadanya telah diperagakan dengan rinci apa yang dilakukan pelaksana hukuman, termasuk cara mengikat terhukum pada tonggak khusus.
Kesimpulan yang bisa ditarik bahwa keadaan di tempat kuli kontrak hidup dan bekerja di perkebunan tidak jauh berbeda dari keadaan di tempat para pekerja paksa bekerja. Kuli kontrak dianggapnya tak kurang criminal dari pekerja paksa. Karenanya, sikap terhadap kedua golongan itu pada hakikatnya sama, yaitu hanya dengan disiplin besi saja “sampah masyarakat pribumi” atau “bangsat-bangsat tak berguna” itu dapat terus bekerja dan dipekerjakan.
Penguasa yang lalai
Pejabat suka menolak menginformasikan keadaan di daerah jajahan dengan alasan demi kepentingan negara. Karenanya, jumlah laporan yang tidak diungkapkan kepada umum banyak sekali. Tetapi, reaksi yang paling sering muncul adalah tentang diremehkannya keadaan kurang baik yang menuntut penjelasan.
Pertama, betapapun menyedihkannya kejadian tersebut, taraf dan jumlahnya tak berarti sama sekali jika dibandingkan dengan keadaan dahulu di perkebunan-perkebunan. Kedua, dalam mengajukan semua kritik itu harus diingat bahwa sebagian besar kuli kontrak rendah mutunya. Ketiga, kebanyakan orang yang mengemukakan pendapatnya itu sepakat bahwa keadaan di perkebunan-perkebunan besar yang tergabung dalam Deli Planters Vereeniging tidak memiliki keluhan apa pun.
Keempat, sebegitu jauh kekerasan yang masih terjadi terutama diakibatkan oleh tindakan membabi buta para pengawas Asia. Kelima, tidak dapat dibantah bahwa pemimpin perusahaan yang terdiri dari orang Eropa terkadang juga bersalaj melakukan kekerasan. Keenam, ada tuduhan dari pihak majikan bahwa pemerintah sendirilah yang bersalah dengan buruknya keadaan seperti disebutkan oleh aparat pemerintah, khususnya kepolisian dan kehakiman yang selama beberapa dasawarsa tidak dikembangkan secara maksimal.
Mantan residen Kooreman menyatakan, antara tahun 1884 dan 1899 hanya terjadi beberapa peristiwa pembunuhan karena “sikap kurang hati-hati”, oleh karenanya ia menyimpulkan, penganiayaan hanya merupakan perkecualian. Selanjutnya, kekejaman paling mengerikan adalah yang dilakukan oleh orang Eropa. Para pengawas Asia akan melakukan apabila mereka diperintah atasan dan sering juga dihadiri oleh atasan kulit putih. Pelbagai pelanggaran terjadi adalah akibat logis dari ordonansi kuli.
Penggunaan kekerasan dan pengawasan kerja
Kekerasan terhadap buruh tak dapat lagi dinyatakan sebagai kekeliruan yang hanya sekali terjadi. Intimidasi, hukuman badan, penjara, dan siksaan merupakan tingkat-tingkat hukuman dalam pola umum praktek kekuasaan tanpa kendali yang mencari hubungan antara tuan kebun dan kuli. Dengan lain perkataan, kekerasan tidak dapat dipisahkan dari system perburuhan di perkebunan-perkebunan besar Sumatra Timur pada tahap perkembangan kapitalis. Faktor-faktor penentu kekerasan, yaitu :
1. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja, semua perintis perkebunan yang pertama diizinkan mendatangkan dari luar. Pertama-tama, diperlukan paksaan untuk mendatangkan tenaga kerja.
2. Semua perkebunan mempekerjakan rombongan pekerja secara bergiliran dan sebagian besar melakukan pekerjaan kasar.
3. Seiring dengan berjalannya waktu, system perkebunan pun mengalami pertumbuhan luar biasa. Para perintis yang pertama hanya mempekerjakan beberapa puluh orang kuli dengan masa kontrak tidak lebih dari satu tahun dan memerintah sendiri para kuli secara langsung.
4. Ketika para tuan kebun pertama kali muncul di Sumatra Timur, pejabat pemerintah boleh dikata tak ada sama sekali.
5. Kuli pendatang yang dengan “sukarela menandatangi kontrak tak bisa lagi membatalkannya. Sekali dipekerjakan di perkebunan, boleh dikata tak mungkin lagi ia melarikan diri.
6. Walaupun demukian, perlawanan kuli terjadi. Kuli tidak pasrah saja dalam menangani pengisapan dan penindasan, tetapi beraksi, individual atau kolektif.
7. Untuk memperoleh pengertian yang wajar tentang penyiksaan itu, perlu diberikan tekanan pada factor  rasialisme yang menjadi cirri plantooratie (kekuasaan tuan kebun).
Pergantian tenaga kerja dan paksaan merupakan dua unsure dasar sistem perburuhan dalam masyarakat perkebunan Sumatra Timur selama dasawarsa terakhir abad ke-19. Selagi berada di perkebunan, yaitu paling tidak selama tiga tahun, para kuli mengalami penyekapan lapis tiga.
Pertama, dalam kelompok kerja sekaligus tinggal. Kelompok kerja itu bukanlah kelanjutan dari hubungan social yang tradisional melainkan bentuk organisasi baru yang disesuaikan dengan kebutuhan cara produksi kapitalis awal. Kedua, perkebunan tidak mengizinkan kuli menarik diri ke  dalam lingkungan sendiri, sebaliknya menuntut kesiapan dan ketaatan mereka tanpa syarat, siang dan malam. Ketiga, di Sumatra Timur kuli kontrak tak diizinkan majikan berada di luar perkebunan. Kekerasan resmi dapat digunakan untuk mengejar mereka yang melanggar, menghukum dan kemudian menyeretnya kembali ke tempat kerja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar