Total Tayangan Halaman

Minggu, 13 November 2011

KAUM PADARI (PADRI) DI PADANG DARAT PULAU SUMATERA

          Di Indonesia pernah bermunculan berbagai aliran dalam sebuah agama, tetapi tidak ada yang pantas mendapat perhatian dan pemikiran yang besar seperti kaum Padri di pulau Sumatra. Kebanyakan aliran-aliran yang ada di Indonesia tidak berumur panjang. Baru saja mereka muncul di pentas dunia, segera pula menghilang, seperti bintang yang jatuh dari langit begitu berkilau namun menghilang untuk selama-lamanya dari pandangan mata. Golongan kaum Padri tidak berumur sependek itu. Mereka lebih merupakan gejala cahaya, yang menyelesaikan jalan hidupnya dalam jangka waktu yang agak panjang dan cukup lama dalam pandangan kita.  
            Daerah Padang yang dibatasi oleh lereng-lereng gunung Merapi dan gunung Singgalang dan sebelah timur oleh barisan gunug-gunung yang melintang di daerah ini, membujurlah daerah tinggi Agam yang ditutupi oleh kampung-kampung dan sawah ladang. Di sinilah di salah satu sebuah kampung itu yang bernama Koto Tuo, tinggal seorang ulama, yang termasyur kemana-mana.
Ulama itu disebut Tuangku Koto Tuo. Karena ilmu agamanya yang begitu tinggi maka banyak orang yang mau menjadi muridnya, yang diajarkan dalam ilmu fikih. Di antara beberapa muridnya ada salah satu yang menonjol karena kecerdasannya dan daya tangkapnya yang begitu cepat dan dianggap muridnya yang paling dapat diharapkan. Murid inilah yang dipenuhi semangat keagamaan yang hangat dan kegembiraan yang hidup.
Kata-kata dan ajaran-ajaran yang disebarkan sang guru dicatatnya dengan garis-garis yang tak terhapuskan di dalam hatinya. Ketika ia kembali ke kampung kelahirannya di Bukit Kamang, ia mengabdikan dirinya kepada urusan-urusan agama. Segera ia menunjukan dirinya sebagai seorang ulama yang paling rajin dan paling terpelajar di kalangan alim-ulama. Karena itu ia memperoleh pengaruh yang besar  
Di Padang terbentuk suatu persekutuan para ulama yang menginginkan penerapan agama dengan sebenar-benarnya tanpa dibumbui dengan hal-hal yang berbau syirik, yang terdiri dari :
Tuangku  Nan Renceh di Kamang
Tuangku Lubut Aur di Cadung
Tuangku Berapi di Bukit (Cadung)
Tuangku Padang Laweh di Banuampu
Tuangku Padang Luar di Banuampu
Tuangku di Galong di Suangi Puar
Tuangku Banesa
Tuangku Kapau di Agam
Beberapa orang di antaranya diburu-buru oleh fanatisme yang tak kunjung padam, yang lain didorong oleh alasan-alasan pribadi. Sebelum kedelapan orang ini melaksanakan ajaran baru ini yang telah disepakati bersama, ulama-ulama itu berpendapat perlu menghadap orang arif Koto Tuo dulu untuk mengajak ulama besar ini bersama dalam pembaruan.
Karena beberapa ulama-ulama itu pernah menjadi murid dari Koto Tuo, maka sangatlah mengherankan bahwa mereka tidak segera mencari perlindungan pada orang alim Koto Tuo ini untuk mendengarkan pendapatnya mengenai rencana-rencana mereka dan mengajaknya ikut serta. Dari sinilah awal munculnya kerenggangan antara guru dan para muridnya.
Perspektif dari Steijn Parve tentang “KAUM PADRI DI PADANG DARAT PULAU SUMATERA” menceritakan tentang awal dari gerakan kaum Padri di daerah Sumatera. Tulisan ini tak luput dari kekeliruan faktuil, karena  Steijn Parve menulisnya yaitu sekitar 50 tahun setelah peristiwa berlangsung. Tetapi jarak waktu itulah yang sekedarnya membebaskannya dari situasi keterlibatan moril.
Ada beberapa hal yang unik dari tulisan Steijn Parve. Yang pertama ialah corak hidup keagamaan di Minangkabau pada awal abad 19, kemudian tentang mulainya gerakan agama. Selain itu ada hal yang menggugah keselarasan antara kepercayaan dengan perilaku pribadi dengan masyarakat. Selanjutnya tentang jaringan sosial madrasah dalam masyarakat Minangkabau. Tidak kalah penting masalah konflik sosial yang langsung mempertanyakan dasar dari sistem kekuasaan yang berlaku.
Situasi konflik sosial ini dianggap sebagai pembuktian dari kelanjutan dan ketidaksesuaian antara patokan adat, yang matrilineal, dengan segala aspeknya, dan Islam yang petrilineal yang manifestasinya sangat menonjol dalam hukum waris. Timbul kesan seakan-akan perbedaan ini memperlihatkan bentuknya dalam tatanan masyarakat.
Loyalitas masyarakat tidak hanya ditentukan oleh nilai-nilai yang mereka hayati, tetapi juga oleh pemimpin-pemimpin yang memberikan penekanan yang berbeda-beda, adat atau Islam. Sehingga dengan begini dianggap bahwa dalam memberi jawaban disetiap tantangan, pengaruh ataupun rangsangan dari luar masyarakat Minangkabau atau terpecah berdasarkan ikatan loyalitas tersebut. Begitulah Steijn Parve dalam menganalisa pergerakan politik kebangsaan di Sumatra Barat konsep dikotomi adat-Islam dipakai sebagai patokan.
Dari uraian Steijn Parve kelihatan bahwa pokok masalah sesungguhnya bukanlah bersifat strukturil. Masalah pokok yang muncul lebih bersifat kulturil, yaitu penghayatan nilai-nilai. Perbedaan dan perdebatan yang terjadi antara Tuangku Koto Tuo dengan bekas murid-muridnya bersumber dari persoalan sampai dimana masalah kulturil itu sampai menggugah kemantapan sosial.
Dalam penulisannya Steijn Parve menggunakan pendekatan sosial. Dimana para ulama di Padang melakukan pembaruan di Padang, hubungan antara masyarakat dan Ulama dalam penerapan hukum adat dan hukum Islam.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar