Total Tayangan Halaman

Selasa, 29 November 2011

INDOKTRINASI KIAI PEDESAAN

Pada awal tahun 1930-an pemerintah Jepang mulai menunjukan minatnya kepada islam melalui promosi kajian Islam serta membangun hubunga dengan para pemimpin Islam terkemuka di Asia. Misalnya pada tahun 1935, kelompok pertama mahasiswa Jepag dikirim ke Arab dan Mesir untuk mempelajari Islam. Pada tahun yang sama masjid pertama dibagun di sebuah kota pelabuhan Internasional, Kobe, dan kemudian pada tahun 1938 sebuah lagi dibangn di Tokyo.
            Ada berbagai jenis alim ulama. Beberapa di antaranya disebut “guru ngaji” yang mengajarkan pengajian dan tafsir Qur’an kepada anak-anak tetangga dirumah mereka sendiri, yang lebih besar dan melembaga. Terlepas dari apakah penagajaran Islam mereka murni atau bercampur dengan kepercayaan setempat, kebanyakan kiai memainkan peran penting dimasyarakat pedesaan sebagai pemimpin spiritual dan mereka menikmati kehormatan luar biasa dari rakyat. Mereka tidak menerima tunjangan keuangan atau kebendaan dari pemerintah bagi lembaga pendidikan mereka di bawah ketetapan tentag “netralis agama”. Tetapi dilain pihak, kegiatan mereka diawasi secara ketat melalui Goeroe Ordonantie tahun 1925, yang mewajibkan guru-guru pesantren untuk mendaftarkan diri bahwa mereka ingin memberikan pelajaran agama orang-orang selain keluarga dekat mereka, dan  memberikan pernyataan tentang teks yag digunaka dalam pengajaran tersebut.
            Ada tiga tindakan yang sangat penting yang dilakukan Jepang untuk memanfaatkan alim ulama dalam kebijakan propaganda dan mobilisasi massa. Pertama didirikannya sebuah organisasi muslim, Masjoemi. Kedua, dibentuknya seksi urusan keagamaan (shumuka) di setiap pemerintah karisidenan. Kewajiban utama seksi ini ialah melakukan kontrol atas alim ulama setempat dan  memobilisasi mereka demi tujuan-tujuan propaganda. Ketiga, diselanggarakan progam “Latihan Alim Ulama”, yang dapat ditafsirkan sebagai suatu usaha untuk membuat alim ulama yang berpengaruh sebagai propagandis yang pro Jepang.
            Perhatian Jepang terhadap Islam diungkapkan oleh pembentuka sebuah departemen yang independen, yaitu Shumubu atau Kantor Oeroesan Agama, di dalam pemerintahan militer untuk menangani persoalan-persoalan agama. Semakin penting bahwa administrasi urusan keagamaan diberi perhatian yang sangat besar, dan hal itu menunjukkan betapa sunguh-sunguhnya penguasa Jepang berusaha untuk menangani persoalan Islam di Jawa.
            Diektur dan staf Shumubu berubah dari waktu ke waktu, yang menunjukkan kelenturan dan pencairan terus menerus akan kebijakan keagamaan yang lebih baik di kalangan penguasa Jepang. Pemimpn puncaknya yaitu jabatan Shumubu-cho (direktur), pertama kali diduduki oleh seorang perwira militer Jepang Kolonel Horie. Sesudah Jepang memulai melaksanakan kebijakan-kebijakan baru, Shumubu juga mulai mengubah struktur dan komposisi personalia Shumubu. Perubahan besarpertama dilakukan pada bulan September 1943, ketika Dr. Hoesein Djajadiningrat diangkut sebagai direktur Shumubucho, menggantikan perwira militer Jepang, Horie. Pengangkatan Hoesein merupakan salah satu langkah pertama ke arah “Pengambilan Bagian dalam Pemerintah oleh Bangsa Indonesia”, yaitu suatu kebijaka yang diterapkan setelah kunjungan Perdana Menteri Tojo ke Jawa pada bulan Juli 1943. Shumubu merupakan departemen pertama satu-satunya di dalam Gunseikabu yang dikepalai oleh seorang Indonesia.
            Setelah pengangkatan Hoesein, jabatan penasihat diambil alih oleh Kiai Haji Mansoer,  seorang pemimpin Muhamadiyah yang terkemuka. Setelah Jepang menduduki Jawa, ia diberi jabatan terpandang dalam dunia politik dan merupakan salah seorang dari empat serangkai. Pada waktu diangkat sebagai penasihat Shumubu, ia aktif sebagai salah seorang pemimpin puncak poetra.
            Berhentinya Hoesein jabatan tersebut diisi oleh seorang pemimpin muslim terkemuka, Kiai Hasjim Asjari, pada tanggal 1 Agustus 1944. Pengankatan kiai tua ini, yang tidak memiliki latar belakang pendidiksn Barat atau pengalaman pemerintah, sebagai direktur Shumubu, merupakan peristiwa yang tidak pernah terjadi sebelumnya, dan merupakan kejutan besar bagi masyarakat. Persoala yang paling serius dari pihak Jepang ialah bagaimana mengalang kerja sama dengan penduduk pedesaan, dan Jepang telah menyadari betapa pentingnya peranan ulama Islam pada tingkat masyarakat bawah.
            Salah satu tindakan untuk mengembangkan kontrol yang efektif terhadap ulama Islam ialah didirikan seksi agama, yaitu Shumuka, dikantor-kantor karisidenan pada bulan April 1944. Sampai saat itu, satu-satunya kantor pemerintah daerah yang berkaitan dengan urusan agama ialah kantor penghulu yang terkait dengan bupati. Di bawah pengawasan kantor penghulu ini, dilakukan berbagai urusan Islam seperti perkawinan kaum muslim, pengelolaan penradilan agama, pengelolaan masjiddan pengumpulan zakat fitrah.
Enam tugas utama Shumuka yang yang diciptakan oleh Dr. Hoesein Djajadiningratmemberi pengarahan yag lebih konkret sebagai berikut,
1.      Untuk meningkatkan bimbingan dan propaganda terhadap umat Islam.
2.      Untuk mempererat hubungan antara pangreh praja dan alim ulama.
3.      Untuk mengaktifkan alim ulama supaya bekerja sama dengan pemerintahan militer Jepang.
4.      Untuk mengarahkan dan mengendalikan penghulu.
5.      Bahasa Jepang dan pengetahuan umum harus diajarkan di sekolah-sekolah agama.
6.      Untuk menyeleksi siswa yang dilatih sebagai alim ulama.
Melihat perkembangan shumuka selanjutnya, dan kegiatan-kegiatannya, kewajiban yang paling jelas ialah tiga yang pertama. Kehendak Jepang ialah untuk mempererat cengkraman pemerintah terhadap penduduk muslim secara umum, dan khususnya alim ulama, dengan menempatkan mereka di bawah kontrol langsung pejabat ulama, sehingga bisa memobilisasi mereka supaya bekerja sama dengan pihak Jepang.
kegiatan-kegiatan Shumuka untuk mengendalikan alim ulama setempat bekerja lebih efektif jika dipadukan dengan upaya untuk mendidik alim ulama melalui serangkaian kursus latihan dalam rangka menjadikan mereka sebagai propagandis jepang. Tidak jelas kapan pertama kali pemerintah militer memutuskan penyelenggaraan progam pelatihan semacam itu. Menurut Benda, menjelang dibukanya kursus latihan yang pertama pada bulan Juli 1943.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar