Total Tayangan Halaman

Senin, 28 November 2011

FILSAFAT SEJARAH SPEKULATIF


1.   Gianbattista Vico (1668 – 1744)
Vico adalah seorang filosof sejarah dan sosial yang hidup di Italia pada akhir abad ketujuh belas dan permulaan abad kedelapan belas. Menurut Vico, sejarah kemanusiaan bisa diletakkan dibawah interpretasi ilmiah yang teliti. Ia, dalam karyanya The New Science, berupaya menguraikan sebab-sebab terjadinya perubahan kultural yang menimpa masyarakat manusia. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa masyarakat manusia melalui fase-fase pertumbuhan, perkembangan, kehancuran tertentu. Sebab di antara watak manusia ialah timbulnya gejala-gejala itu di bawah kondisi-kondisi tertentu dan sesuai dengan sistem-sistem tertentu. Jadi setiap kali kondis-kondisi itu terpenuhi, maka gejala-gejala itu pun akan timbul.
Selain itu Vico berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat manusia melalui berbagai lingkaran kultural, di mana masyarakat-masyarakat itu beralih dari kehidupan barbar ke kehidupan berbudaya atas tuntunan Ilahi yang memelihara wujud. Namun ciri yang mewarnai teori Vico tentang sejarah ialah keyakinannya bahwa berbagai aspek kebudayaan suatu masyarakat dalam fase mana pun dari sejarahnya membentuk polapola sama yang saling berkaitan satu sama lainnya secara substansial dan esensial. Jadi, apabila dalam suatu masyarakat berkembang suatu aliran seni atau keagamaan tertentu, maka berkembang pula bersamanya pola-pola tertentu dari sistem-sistem politik, ekonomi, hukum, pikiran dan sebagainya. Teori Vico ini mempunyai dampak yang jelas terhadap banyak filosof sejarah setelahnya, seperti Herder, Hegel, dan Karl Marx, semuanya menurut caranya masing-masing.
Aliran Vico tentang daur kebudayaan ini sendiri ditegakkan di atas hubungan internal di antara berbagai pola budaya yang berkembang dalam masyarakat. Sebab ia menjadikan daur-daur kulturalnya satu sama lainnya saling melimpahi dan selalu memiliki perulangan. Tetapi perulangan itu tidak selalu berarti bahwa sejarah mengulang dirinya sendiri. Sebab perjalanan sejarah bukanlah roda yang berputar mengitari dirinya sendiri sehingga memungkinkan seorang filosof meramalkan terjadinya hal yang sama pada masa depan . Sedang menurut Vico, sejarah berputar dalam gerakan spiral yang mendaki dan selalu memperbaharui diri, seperti gerakan pendaki gunung yang mendakinya dengan melalui jalan melingkar ke atas di mana setiap lingkaran selanjutnya lebih tinggi dari lingkaran sebelumnya, sehingga ufuknya pun semakin luas dan jauh.
Mungkin pembaharuan diri terus-menerus dari gerak sejarah inilah yang menjadi ciri teori Vico yang membedakannya dari teori-teori tentang daur kultural sejarah sebelumnya. Teori ini sendiri konsisten dengan suatu metode yang tegar tentang gerak ulang sejarah, yang melempangkan jalan untuk berpendapat tentang mungkin dilakukannya peramalan dalam kajian sejarah dan sulit menerima ide kemajuan seperti menurut Plato dan Machiavelli. Masyarakat-masyarakat manusia menurut Vico, dengan demikian, bergerak melalui fase-fase perkembangan tertentu yang berakhir dengan kemunduran atau barbarisme dan selanjutnya memulainya lagi dari fase yang awal dan begitu seterusnya. Dengan demikian lingkaran-lingkaran sejarah, menurut Vico, dalam pendakian yang terus menerus terjalin erat dengan kemanusiaan. Dalam wawasan historis Vico, ide kemajuan adalah substansial, meski kemajuan ini sendiri tidak melalui satu perjalanan lurus ke depan tapi bergerak dalam lingkaran-lingkaran historis yang satu sama lainnya saling melimpahi. Dalam setiap lingkaran, pola-pola budaya yang berkembang dalam masyarakat, baik agama, politik, seni, sastera, hukum, dan filsafat saling terjalin secara organis dan internal, sehingga masing-masing lingkaran itu memiliki corak kultural khususnya yang merembes ke dalam berbagai ruang lingkup kulturalnya.
Atas dasar itu Vico membagi sejarah kemanusiaan menjadi tiga fase yang berkesinambungan, yaitu fase teologis, fase herois dan fase humanistis. Fase yang terkemudian, menurut Vico, adalah lebih tinggi ketimbang fase sebelumnya, daur kultural purna dengan fase ketiganya dengan lebih tinggi dibanding daur sebelumnya.
1.      fase ketuhanan. Masa ini bermula pada waktu suatu bangsa mulai meninggalkan secara bertahap kehidupan primitive sebelumnya, untuk masuk pada masa ketuhanan. Masa ini sendiri diwarnai dengan berkembangnya berbagai khurafat dan rasa takut terhadap fenomena-fenomena alam yang dipandang sebagai teofani kehendak Ilahi, baik yang menunjukkan kemarahan-Nya atau keridhaan-Nya. Selain itu masa ini juga didominasi oleh ide ruh baik dan ruh jahat yang menentukan nasib manusia . Lebih jauh lagi masa ini adalah masa mitologi animistis yang dikendalikan oleh kekuasaan-kekuasaan kependetaan yang menyatakan bahwa hak-haknya dalam melaksanakan apa yang dipandangnya sebagai hukum didasarkan pada kehendak tertinggi Ilahi.
2.      Fase pahlawan. Fase ini bermula pada waktu masyarakat masa ketuhanan bersatu dan masuk pada kesatuan yang lebih besar guna menghadapi bahaya luar atau disintegrasi internal. Pada fase ini watak manusia begitu didominasi cinta kepada kepahlawanan dan pemujaan kekuatan, agama, sastera, dan filsafat mengambil corak mitologis khusus. Sementara kekuasaan pada masa ini telah beralih dari tangan para pendeta dan tokoh agama ke tangan panglima perang dan ksatria. Dalam kondisi yang demikian kekuatan menjadi hukum yang berlaku dan kekuatan bersenjata yang menentukan kebenaran.
3.      Fase humanistis. Masa ini diwarnai dengan demokrasi, pengakuan kesamaan manusia, dan keruntuhan sistem otoriter. Ia adalah masa rasional yang mempercayai manusia dan berupaya untuk menguasai alam di mana fenomena-fenomenanya kini lagi dipandang erat kaitannya dengan amarah dan keridhaan Tuhan. Namun dalam masa ini, menurut Vico, terkandung benih keruntuhan dan kehancuran. Sebab demokrasi dan pernyataan persamaan anggota-anggota masyarakat segera akan mendorong rakyat awam mempunyai sikap yang ekstrem dalam menuntut hak-hak mereka yang secara bertahap kemudian mereka peroleh. Tapi ini membuat semakin meningkatnya konflik antara kelas masyarakat, bukannya meredakannya, sehingga melemahkan hubungan-hubungan tradisional antara kelas-kelas itu dan membangkitkan keraguan terhadap sebagian nilai-nilai tradisional yang diterima tradisi-tradisi sosial yang diakui. Akibatnya adalah terjadi disintegrasi dan kerusuhan yang merupakan pertanda berakhiriya daur kebudayaan seluruhnya.
2.   G.W.F. Hegel (1770 – 1831)
Pada abad kesembilan belas, in terpretasi-interpretasi sejarah yang bercorak eksperimental ini mendapat reaksi dari para filosof idealis, terutama sekali diwakili Hegel (meninggal pada tahun 1831). Hegel adalah seorang idealis yang berpendapat bahwa pikiran adalah landasan segala apa yang maujud. Selain itu, Hegel juga seorang dualis yang berpendapat tentang adanya dua unsur yang sepenuhnya berbeda, yaitu unsur spiritual dan material, yang terhimpun dalam satu ruh atau pikiran yang dipandang sebagai kekuatan tertinggi yang menggerakkan segala sesuatu. Pikiran atau ruh itu disebut dengan akal mutlak. Untuk membuktikan teorinya ini Hegel mempergunakan polemik. Lewat cara ini ia berpendapat bahwa akal manusia selalu bergerak ke depan untuk mencapai ilmu mutlak.
Teori mencapai puncaknya dalam abstraksi. Idealismenya yang berlebih-lebihan ini membangkitkan kecaman dari kaum materialis setelahnya dan mereka mengkritik pendapatnya bahwa sejarah adalah keterbukaan akal kosmis mutlak dan perluasannya dalam waktu . Menurut kaum materialis, interpretasi Hegel atas sejarah merupakan interpretasi materialistis murni. Dengan demikian, pendapatnya terperosok pada lawan pendapatnya dan dengan itu ia terjatuh dalam sikap berlebih-lebihanan yang tidak logis. Seperti terbukti, filsafat sejarah Hegel begitu terpengaruh oleh ajaran-ajaran agama Masehi. Sehingga bisa dikatakan bahwa konsepsinya tentang semangat universal yang terpersonifikasikan dalam zaman historis diilhami makna-makna simbolis agama Masehi. Sebab apabila al-Masih adalah semangat agama Masehi yang terpersonifikasikan dalam ruang dan waktu, demikian halnya realitas semangat menurut Hegel juga berpakaiankan waktu.
Malah struktur umum konsepsinya tentang sejarah hampir seiring dengan konsepsi-konsepsi Saint Augustine, apabila aspek dogmatis konsepsi-konsepsi Saint Augustine kita buang dan konsepsi-konsepsi keagamaan yang ada dalam metodenya kita rumuskan kembali dan kita ubah menjadi kategori-kategori rasional. Memang, konsepsi Hegel tentang agama Masehi bertentangan dengan konsepsinya tentang teologi tradisional. Namun ini tidak menghalangi adanya kesamaan seperti dikemukakan di atas. Sebab kejatuhan tidak lain adalah kesadaran manusia akan dirinya sendiri sebagai manusia dan kejahatan adalah tetap terpisahnya manusia dari Tuhan. Sedang masuknya berbagai penderitaan dalam sejarah adalah sarana untuk merealisasikan kesatuan manusia dengan Tuhan.
Menurut Hegel, ide kebebasan merupakan kunci hakiki dari sejarah. Sebab kebebasan adalah substansi akal budi dan akal budilah yang mengendalikan alam. Sedang perjalanan sejarah dalam filsafatnya adalah semacam kemajuan dialektis di mana berlangsung penghancuran dan pembangunan kembali, untuk merealisasikan perubahan ke arah yang lebih baik. Sementara kejeniusan atau semangat bangsa - yang tertampilkan dalam diri individu-individu tapi mandiri dari kehendak dan maksud mereka - adalah pencipta sebenarnya kebudayaan. Sedangkan sejarah, dalam filsafat Hegel, adalah arena di mana muncul berbagai bangsa untuk mengungkapkan semangat universal, tapi hanya para pahlawan dan jenius saja yang mampu memahami substansi semangat itu.
Apabila sifat alam adalah kesniambungan, ketertiban, dan kelangsungan tanpa perubahan, maka alam semangat sajalah yang mampu mencipta dan mengubah ke arah kesempurnaan. Semangat ini adalah karunia intelektual atas suatu bangsa. Sedang sejarah suatu bangsa tidak lain adalah suatu prose s aktualisasi diri di dalamnya dan penyingkapan kontribusi-kontribusinya terhadap kebudayaan manusia seluruhnya, dan sejarah dunia, menurut Hegel, tidak lain adalah kemajuan kesadaran umum terhadap kebebasan. Jadi, dengan melaksanakan kebebasan, yakni kemampuan untuk berkehendak bebas, manusia pun menjadi bukti wujud spiritualnya.
Dengan ini sejarah adalah perkembangan semangat dalam waktu dan alam adalah perkembangan ide dalam ruang. Idealisme Hegel bertemu dengan idealisme para pemikir sezamannya. Misalnya saja Karl Marx (meninggal pada tahun 1883) dan Friedrich Engels (meninggal pada tahun 1895) mengemukakan. suatu interpretasi ekonomis atas sejarah dengan mendayagunakan aliran dialektis Hegel, meski pada saat yang sama keduanya mengecam keras Hegel. Jadi, apabila Marxisme menentang idealisme Hegel, di pihak lain Marxisme mengambil metode diael ktis Hegel sebagai landasan materialisme dan meletakkan metode itu, seperti dikatakan dua pengasas aliran Marxis itu, di bawah telapak kaki keduanya setelah sebelumnya berdiri tegak di atas kepalanya.
Dengan demikian, di tangan kedua pemikir itu, idealisme pun berubah menjadi materialism murni dan penyingkapan riil tentang perjalan semangat dalam sejarah pun, seperti dinyatakan Hegel, berubah menjadi upaya untuk membebaskan manusia dari belenggu keasingannya dari dirinya sendiir, yakni keasingan yang timbu l dari berkuasanya sistem-sistem sosial, ekonomis, dan politik tertentu. Namun penekanan Marxisme atas makna teologis dari sejarah lebih besar ketimbang filsafat-filsafat lainnya. Hal ini karena aliran Marxisme merupakan suatu filsafat yang membuktikan kebobrokan sistem kapitalis, meramalkan kejatuhan dan keruntuhan system kapitalis, dan meramalkan berlakunya komunisme dalam masyarakat manusia masa depan yang tanpa kelas, di mana kemanusiaan akan bisa merealisasikan kebahagiaan setelah terealisasinya sorga tertingginya di bumi ini.
3.      Johan Gottfried Herder (1744 – 1803)
Dalam karyanya itu ia mengemukakan bahwa sejarah bergerak maju ke depan dan ia terjadi sebagai hasil proses-proses yang berlangsung dalam alam fisik. Proses- proses itu terdiri dari berbagai fase dan mencapai puncaknya pada manusia. Jadi, manusia yang merupakan puncak perkembangan fisik juga dipandang sebagai permulaan puncak perkembangan lainnya yakni perkembangan intelektual.
Gagasannya termuat dalam “A Philosophy of the History of Man” yang terbit th. 1784 bersamaan dengan tulisan Kant “Idea of a Universal History”. Herder merupakan murid dari Emanuel Kant yang sekolah di Konigsberg university. Antara Herder dengan Kant terdapat perbedaan pendapatan tentang sejarah. Herder menggunakan aliran romantism, sedangkan Kant menggunakan aliran rasionalisme. Romantisme timbul sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme dalam pendekatannya terhadap sejarah.
Adapun perbedaan keduanya yaitu:
-       Rasionalisme : berangkat dari keyakinan pasti menyangkut kemajuan manusia, sehingga memandang sejarah dari masa barbar menuju rasionalisme dengan tujuan yang pasti juga.
-       Romantisme : meski kemajuan sejarah dapat dilihat namun kemajuan tersebut tidak bersifat rasional namun irrasional dan tidak disadari,  kemajuan sejarah manusia di suatu tempat dan suatu waktu akan terjadi dengan caranya sendiri-sendiri secara alami. Sejarah sebagai suatu fenomena alam.
Kaum rasionalis cenderung menganggap sejarah masa lalu sebagai kisahnya orang barbar/tidak cerah kisah kelam. Herder berpendapat janganlah sejarawan menghakimi masa lalu, namun menaruh simpati, melalui upaya membayangkan memasuki kehidupan masing-masing kebudayaan dan mencoba untuk memahaminya dari dalam. Masing-masing kebudayaan adalah unik/khusus, tak dapat dibandingkan satu sama lain, maka untuk menyimpulkannya harus didasarkan pada ukuran masing-masing. Sejarah tak boleh menentukan ukuran sendiri. Rasionalisme berasumsi bahwa sifat manusia adalah sama/seragam, dan tidak berubah. Herder menganggap masing-masing abad dan budaya memiliki sifat sendiri-sendiri. Manusia memiliki banyak sifat yaitu analogi rasionalisme, manusia sama dengan mesin dan analogi romantisme, manusia sama dengan tanaman.
Kebudayaan tumbuh spontan dan bergantung pada kondisi tempat/situasi), tidak ada hukum universal. Rasionalisme merupakan apa yang terjadi pada manusia bersifat pasti, berarti mengabaikan pengaruh lingkungan. Sedangkan Romantisme merupakan apa yang terjadi pada manusia ditentukan oleh kondisi lingkungan. Rasionalisme merupakan pendekatan terhadap sejarah mempengaruhi cara yang pasti yang kemudian mencari penguatan melalui data, Sedangkan Romantisme merupakan keberatan terhadap pendekatan tersebut oleh karena memaksa data sebagai penguat/pembenar teori, maka pendekatannya harus bebas tanpa prasangka. Herder berpendapat
-          tujuan sejarah adalah Humanity
-          Menekankan realita utama/primer dari kelompok
-          Sejarah bukan merupakan laporan dari orang tertentu, namun merupakan kisah dari sekelompok masyarakat tempat orang tersebut berada. Sekelompok masyarakat tersebut yang paling penting adalah bangsa (Das Volk).

PERSAMAAN
Mereka sama-sama memiliki pendapat yang diuraikan oleh pemikiran dan pendapat yang ditimba dari Perjanjian Lama, dan tidak lepas dari fanatisme keagamaan. Dan paling sedikitnya ia dipandang sebagai salah seorang pengasas kajian historis pada zaman modern. Karena itu dapat dikatakan bahwa dedikasinya terhadap sejarah sebanding dengan dedikasi Bacon terhadap metode penelitian fisika dan dedikasi Auguste Comte
Para filosof abad kedua puluh yang kembali menekankan makna keagamaan dari sejarah, tidak terkecuali dalam aliran-aliran pembaharuan yang mengambil nama para tokoh atau aliranaliran yang ada sebelumnya. Semua aliran-aliran itu berupaya sekali lagi untuk menghidupkan kembali makna keagamaan dari sejarah yang sesuai dengan budaya abad kedua puluh. Karena kemajuan zaman – sesuai dengan teori yang menyatakan tentang makna sejarah - dengan sendirinya menyingkapkan suatu nilai moral yang bersamanya alam menjadi ruang angkasa di mana tampak pengarahan Ilahi atau bukan Ilahi sesuai dengan teori itu.
Teori Vico ini mempunyai dampak yang jelas terhadap banyak filosof sejarah setelahnya, seperti Herder, Hegel, dan Karl Marx, semuanya menurut caranya masing-masing. Vico berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat manusia melalui berbagai lingkaran kultural, di mana masyarakat-masyarakat itu beralih dari kehidupan barbar ke kehidupan berbudaya atas tuntunan Ilahi yang memelihara wujud. Namun ciri yang mewarnai teori Vico tentang sejarah ialah keyakinannya bahwa berbagai aspek kebudayaan suatu masyarakat dalam fase mana pun dari sejarahnya membentuk polapola sama yang saling berkaitan satu sama lainnya secara substansial dan esensial. Jadi, apabila dalam suatu masyarakat berkembang suatu aliran seni atau keagamaan tertentu, maka berkembang pula bersamanya pola-pola tertentu dari sistem-sistem politik, ekonomi, hukum, pikiran dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar