Total Tayangan Halaman

Rabu, 20 Maret 2013

Esprit De Corps Sang Calon Dokter



Jum’at, 15 Maret 2013 saya mengantarkan Bapak dan Ibu untuk cek kesehatan dan konsultasi gizi di RS Dr Sardjito, Yogyakarta. Bapak dan Ibu berobat menggunakan askes karena pensiunan abdi negara. Dengan berobat menggunakan Askes kita akan mendapat potongan harga alias membayar lebih murah atau di bawah standar.
Namanya juga fasilitas murah pastinya membuat kita untuk lebih nrimo. Ada sebuah guyonan di kalangan masyarakat rega nggawa rasa, artinya harga bawa rasa. Maksudnya dengan harga yang ekonomis kita harus menerima fasilitas yang minimalis dan dinomor duakan dibandingkan dengan yang kelas bisnis atau eksekutif yang bayarnya lebih mahal.
Selain fasilitas yang minimalis sebagai kelas di bawah eksekutif, birokrasinya pun berbelit-belit dioper ke sana-kemari. Selesai melakukan pendaftaran kita diharuskan menunggu panggilan pemeriksaan yang antrinya luar biasa banyak sehingga membuat kita menunggu cukup lama. Saya perhatikan ternyata kita menunggu sampai satu jam sampai akhirnya dipanggil untuk mendapatkan pemeriksaan oleh dokter.
Di sela-sela menunggu itulah saya menulis status, selain untuk meluapkan emosi karena menunggu yang cukup lama juga menjadi sebuah keluhan seorang pasien kepada para pelayan masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan. Inilah status saya:
“Dokternya ngobrol sama temannya sesama dokter, pegawai di bagian administrasi juga pada ngobrol masing-masing, lha kok gak dipanggil-panggil?? Ketika ditanya, jawabnya: Sabar ya mas... Saya gak bisa bayangkan kalau pasiennya orang yang sekarat “sabar ya mas”. Beginikah pelayanan di Rumah Sakit, ribet, lama dan gak cekatan??” *edisi di RS Sardjito.”
Sekitar 1 jam lebih 23 menit tiba-tiba ada seorang yunior saya di sebuah organisasi menulis komentar yang kelihatan kalau dia tidak suka dengan status saya, beginilah komentarnya: “Mending masnya jadi dokter aja deh biar ada dokter yang cekatan.”
Tidak sampai di situ, pada sore harinya sekitar pukul 16.58 WIB dia kembali menulis komentar, kali ini cukup pedas: “Dulu gurunya gimana yaa ngajarnya kok muridnya jadi rusak semua? Pernah guru dihujat? Gak! Sebusuk apapun guru tetep aja dipuji dan dianggap pahlawan. Kalo tenaga medis salah dikit aja jelek2innya luar biasa. Udahlah kalo gak puas denga pelayanan kesehatan yaa gak usah berobat. Kalo gak terima dengan pemerintah indonesia yaa monggo keluar negeri. Gitu aja kok repot.”
Dari komentar-komentar tersebut jelas banget terlihat kalau calon dokter sedang membela calon korpsnya, korps kedokteran. Mereka tidak mau disalahkan walaupun salah. Sangat disayangkan pula kenapa dia malah menjelek-jelekkan Guru, padahal kita semua pernah yang namanya diajar oleh guru, mulai sejak TK sampai SMA. Walaupun belum lama ini kita dihebohkan oleh berita yang isinya tindakan beberapa oknum guru yang tidak patutu dicontoh.   
Inilah salah satu penyakit orang Indonesia yang kurang baik, sikap esprit de corps yang berlebihan. Jika ada seorang warga negara “diinjak” harga dirinya oleh orang warga negara lain, misal TKI di luar negeri, terus kita membelanya itu adalah sikap nasionalisme yang patut diacungi jempol. Lha kalau yang kayak gini bukannya akan membuat bangsa semakin berjaya justru akan membuat bangsa Indonesia semakin terpecah belah karena sikap esprit de corps membuat kita sibuk untuk membela rekan sejawat dibandingkan instrospeksi diri dan korpsnya.
Saya tidak bisa membayangkan apabila esprit de corps terjadi kepada sejarawan. Sebagai calon sejarawan saya tahu persis bagaimana seharusnya seorang sejarawan bersikap. Apabila ada seorang sejrawan menulis sebuah karya ilmiah yang berisi peristiwa sejarah maka sejarawan lain memberikan kritikkan yang berlandaskan sebuah fakta dari sumber terpercaya sezaman seperti arsip dan wawancara dengan pelaku sejarah dan analisis sejarah.
Saya tidak bisa membayangkan kalau sejarawan itu mempunyai esprit de corps yang besar seperti calon ibu dokter di atas. Apabila ada seorang sejarawan menulis sebuah peristiwa sejarah dalam sebuah karya ilmiahnya, dan dalam karya ilmiahnya tersebut terdapat sedikit kekeliruan maka semua sejarawan akan beramai-ramai membantunya. Apa yang terjadi?? Terjadilah sebuah penyimpangan dan pemutarbailkkan sejarah. Oleh sebab itu sejarawan dituntut sebuah sikap kritis dari para sejarawan untuk menganalisa peristiwa-peristiwa yang ada agar tercipta suatu sejarah seobjektif mungkin.

*15-03-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar