Total Tayangan Halaman

Jumat, 03 Agustus 2012

Doktrin


“Busyro Muqoddas (Dosen UI-KPK)- dlm buku hasil disertasiny “HEGEMONI REZIM INTELIJEN” menyatakan: terorisme di negeri ini smua hasil konstruksi intelijen negara sendiri. (Banjarmasin Post 14/11), (Globalmuslim.web).” *sms 4-12-2011: 14.08
Demikianlah sms dari seorang teman yang saya panggil “mbak” karena kebetulan umur beliau lebih tua dari saya. Dari sms itu pula terjadi sebuah diskusi dengan beberapa teman mengenai: Benarkah otak itu bisa dicuci?
Kebetulan dalam diskusi ringan dan dadakan yang diadakan di dalam ruang pengap sebuah kos tidak dihadiri oleh mahasiswa psikologi, atau minimal orang yang paham tentang psikologi dan kejiwaan. Kalau saja ada, pasti akan lebih seru karena diskusinya tidak hanya berdasar interpretasi masing-masing. Ada sebuah landasan ilmu tentang kejiwaan yang menerangkan perihal cuci otak.
Beberapa peserta diskusi tidak menyetujui kalau otak itu bisa dicuci. Melainkan didoktrin sesuai keinginan sang pendoktrin. Sejarah membuktikan kalau rakyat Indonesia pernah didoktrin pada masa Orde Baru. Kita dicekoki melalui berbagai sarana dan prasarana bahwa yang namanya PKI adalah penjahat dan dalang dari tragedi G 30 S.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu mungkin tidak terlalu ekstrem. Hanya mengubah image rakyat terhadap Faham Komunis di Indonesia. Beda halnya dengan para tersangka terorisme yang melakukan bom bunuh diri dengan mengatasnamakan jihad. Sebagai orang normal pasti akan berfikir seribu kali sebelum melakukannya. Kalau benar-benar ingin berjihad mengapa tidak pergi saja ke Afghanistan atau Palestina? Kenapa harus melakukan bom bunuh diri di negeri sendiri?
Kalau mau melihat fakta di lapangan, tidak sedikit umat Islam yang menjadi korban. Misalnya kasus bom bunuh diri di Masjid Polres Cirebon. Para Jama’ah yang hendak melaksanakan Shalat Jum’at dikejutkan oleh bom yang meledak tiba-tiba. Bahkan Kapolres menjadi salah satu korban.
Cuci otak mungkin memang ada dan bisa dilakukan. Teringat cerita seorang anggota Brigif 6. Awalnya saya sebagai ketua panitia acara Kuas Pena memerintahkan anak buah di sie transportasi mencari kendaraan untuk mengangkut peserta menuju tempat acara. Dilihat dari pengalaman yang pernah terjadi, tidak ada bus yang sanggup mencapai lokasi dikarenakan terlalu tinggi.
Setelah memutar otak, truk tentaralah menjadi alterrnatif dengan pertimbangan bahwa truk tentara kuat mencapai tempat yang tinggi karena sering membawa “anggota” naik-turun gunung untuk latihan. Singkat cerita saya ngobrol dengan sopir truk yang juga anggota Brigif. Dia bercerita, dulu ketika masa pendidikan dia sampai lupa siapa nama orang tuanya. Katanya lagi, pendidikannya pada masa itu sama dengan cuci otak.
Ya, saya tidak tahu pasti bagaimana sistem pendidikan di militer. Itu hanya pendapat dari salah satu anggotanya. Yang terjadi pada tersangka teroris mungkin juga adalah korban cuci otak. Sebagai orang normal yang taat beragama pasti tidak akan mau melakukan bom bunuh diri, apalagi ini di dalam tempat ibadah, Masjid.
Sesuatu yang salah jika dikatakan seribu kali maka akan menjadi benar. Pesan Sun Tzu, ahli strategi perang dari China. Begitulah salah satu cara bagaimana mendoktrin. Kalau terus-terusan pasti akan menancap dalam pemikiran, entah itu benar atau salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar