Total Tayangan Halaman

Minggu, 04 Desember 2011

MASYARAKAT PERKEBUNAN DAN ORDE KOLONIAL

            Masyarakat perkebunan di tanah Hindia Belanda yang paling unik terletak di Sumatra Timur, karena yang terutama menentukan masyarakat perkebunan adalah dibuka terkemudian, terletak di pinggir daerah jajahan, dimana keberadaan majikan dan buruh bersifat sementara. Dimana para majikan dan buruh merupakan suatu faktor utama dalam berjalannya perkebunan. Pda abad ke-19 Sumatra merupakan salah satu wilayah yang disengketakan oleh Belanda san Inggris.  Bukan karena persengketaan atau persaingan asing yang menyebebkan pemerintah mengisi kekosongan di daerah pinggiran. Salah satu penyebabnya  adalah karena politik, serta padatnya pulau Jawa. Bagi pemerintah kolonial, pembukaan daerah yang masih kosong tampaknya akan membuka perspektif baru.  Munculnya para tuan kebun yang mendirikan perusahaan di Sumatra Timur, mereka juga menjadi pelopor politik eksploitasi kapilatisme.
            Pada tahun 1885 produksi di perusahaan-perusahaan perkebunan besar sudah mulai menetap, sehingga para pengusaha dan pengusaha melakukan penanaman modal sebesar-besarnya dalam jangka panjang yang tujuannya untuk memperbaiki infrastruktur dan kerangka institusional yang sesuai untuk kehidupan masyarakat yang lebih teratur dan maju. Dengan masuknya pemerintah kolonial khususnya di Deli, jadi secara otomatis kebudayaan kolonial berasimilasi dengan kebudayaan Deli. Lingkungan yang bersuasana internasional sudah ada di Deli sejak daerah itu dibuka dan tetap bertahan sebelumnya.  
            Perkebunan di Sumatra Timur telah memasuki pasar dunia dengan jalan pelayaran yaitu lewat Penang dan lebih sering lewat Singapura. Yang mendasari orientasi dagang tersebut disebabkan berbagai kepentingan kolonial dan nasional. Dalam perdagangan tersebut terjadi interaksi antara Belanda dan Inggris dalam melakukan kegiatan ekonomi. Pada abad ke-20 pemerintah Hindia Belanda semakin berhasil dalam menetapkan batas-batas kekuasaan tuan kebun. Tapi para tuan kebun memanfaatkan ruang gerak mereka untuk menekan pemerintah. Ternyata ciri daerah kolonisasi di Sumatra Timur adalah bahwa orang (tuan kebun maupun kuli) kesana bukan untuk menetap selamanya melainkan cuman sementara.
            Perkebunan di Sumatra Timur memiliki markas besar yaitu di Medan, yang mana Medan terletak di jantung tanah perkebunan dan mencerminkan watak perkebunan itu. Medan bukan hanya pusat pemerintahan dan ekonomi, melainkan letak dinas-dinas pemerintah, kantor-kantor dagang dan perusahaan-perusahaan pemasok bahan, juga sebagai tempat rekreasi para tuan kebun. Dalam pengelolaan perkebunan di Sumatra Timur, kepala-kepala orang Cina dan bangsawan pribumi juga ikut berperan. Orang Cina adalah mata rantai penting dalam jaringan distribusi, baik yang legal maupun ilegal seperti penyelundupan opium, penjual kuli kontrak yang melarikan diri, dan pemasok pelacur. Meskipun orang Cina pemasok pelacur, tetapi kuli Cina tidak begitu menghiraukan perempuan. Tetapi mereka lebih suka pada “kecabulan yang tidak alami”, mereka menyenangi anak-anak muda, atau lebih tepat anak-anak (anak jawi). Di dalam perkebunan juga ada pembunuhan yang diakibatkan oleh cinta terhadap sejenis dan pembedaan warna kulit juga mempengaruhi dalam pembagian pekerjaan.
            Rasialisme yang tak terpisahkan dari lingkungan perkebunan bukanlah akibat melainkan syarat bagi perbudakan tenaga kerja. Kontrak antar-ras yang berlainan warna kulit memang tak terhindarkan, justru karena itu cara-cara melakukan kontak dirumuskan dengan teliti dan harus berlangsung menurut aturan-aturan yang tertulis dengan teliti pula. Sejumlah besar penganiayaan yang dialami para kuli bukan karena pelanggaran melainkan akibat “keberanian” mereka dalam pergaulan masyarakat. Apabila terjadi pelanggaran atas perikemanusiaan maka dicap saja mereka yang bersalah melakukan ekses-ekses itu menderita tropenkolder. Kepada orang pribumi umumnya dan kuli khususnya diberikan segala macam ciri kolektif yang menyebabkan nilai-nilai kemanusiannya diragukan. Banyak berita yang menunjukan bahwa para tuan kebun terus bertindak otokratis dan memperlakukan para kuli mereka dengan buruk. Tindakan kekerasan merupakan ciri yang menonjol dalam industri perkebunan besar dan pertambangan di daerah luar Jawa yang mempekerjakan tenaga buruh dalam jumlah besar. Laporan resmi selamanya menyebutkan bahwa semua pihak yang berkepentingan memiliki penilaian yang sangat baik mengenai efek ordonasi kuli.
            Ternyata keadaan di tempat kuli kontrak hidup dan bekerja di perkebunan tidak jauh berbeda dari keadaan di tempat para pekerja paksa bekerja. Kuli kontrak dianggap tak kurang kriminalnya dari pekerja paksa. Karenya, sikap dari kedua golongan itu pada hakekatnya sama, yaitu bahwa hanya dengan disiplin besi saja “sampah masyarakat pribumi” atau “bangsat-bangsat yang tak berguna” itu dapat disuruh bekerja dan terus dipekerjakan. Secara umum tiang hukum merupakan alat ampuh pemerintah kolonial untuk menundukkan kuli yang suka berontak. Salah satu mantan kebun tuan kebun dianggap sebagai politikus liberal ialah Cremer, ia pembela kepentingan perkebunan-perkebunan besar yang ada di Sumatra Timur, setelah menjadi dia menjadi menteri, Kolonial Verslag bungkam mengenai sisi gelap Deli. Untuk menghilangkan kesan buruk terhadap buruh di Sumatra Timur, pihak wewenang salah satunya Van den Brand mempunyai pernyataan dengan dilengkapi argumen-ergumen. Pertama, Koorem, mantan residen Sumatra Timur beberapa tahun sebelumnya pensiun, berusaha keras menunjukan bahwa justru pada masa dinasnya telah mencapai kemajuan yang besar. Dengan kata lain, keadaan perburuhan semakin membaik. Kedua, bahwa perlu diingat kuli  kontrak dianggap renda mutunya. Untuk mencapai hasil memuaskan, mutlak perlakukan disiplin yang keras. Ketiga, bahwa keadaan di perkebunan-perkebunan besar yang bergabung dalam Deli Planters Vereeniging tidak memiliki keluhan apapun. Hanya di perkebunan-perkebunan kecil yang lebih tepencil dan seringkali masih berada di tangan swasta terjadi berbagai ketidakadilan yang tidak boleh diketahui orang. Keempat, kekerasan terjadi terutama diakibatkan oleh tindakan membabi buta para pengawas Asia. Kelima, perusahaan dibawah pimpinan orang Eropa terkadang juga bersalah melakukan kekerasan, dengan jalan provokasi mereka dapat terhindar dari ancaman fisik dari para kuli yang mereka pimpin. Keenam, ada tuduhan dari pihak majikan bahwa pemerintah sendirilah yang bersalah dengan buruknya keadaan seperti disebutkan oleh aparat pemerintah, khususnya kepolisian dan kehakiman yang selama beberapa dasawarsa tidak dikembangkan secara maksimal.
            Sesudah adanya laporan Rhemrew, kekerasan terhadap buruh tak dapat lagi dinyatakan sebagai kekeliruan yang hanya sesekali terjadi. Intimidasi, hukuman badan, penjara, dan siksaan merupakan tingkat-tingkat hukuman dalam pola umum praktek kekuasaan tanpa kendali yang menjadi ciri hubungan tuan kebun dan kuli. Para majikan menganggap bahwa kuli dianggap sebagai barang dagangan dan berhak menyatakannya sebagai milik pribadi. Banyaknya kekerasan atau penyiksaan yang dilakukan para majikan terhadap buruhnya, banyak penyiksaan yang dilakukan atas dasar sadisme seksual sebagai bentuk lain rasialisme. Sehingga menimbulkan perlawanan yang dilakukan para kuli. Para kuli tidak pasrah saja dalam menjalani penindasan dan pengisapan, tetapi beraksi, individual atau kolektif. Kekejaman yang dilakukan para majikan atau tuan kebun mempunyai manfaat yaitu sebagai alat supaya punya pengaruh lebih dari sekadar alat menghukum kuli yang bersalah atau menakut-nakuti yang lain. Selain itu ada tujuan lain yaitu untuk memperbudak para kuli, dan agar kuli secara pribadi menyerahkan diri kepada staf kulit putih. Kekuasaan dijalankan dengan keras untuk menujukkan keunggulan para tuan bangsa Eropa dan serentak dengan itu mematikan kesadaran pada kuli bangsa Asia bahwa mereka adalah orang yang tak berharga sama sekali.
           

           

           
           

  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar