Total Tayangan Halaman

Minggu, 04 Desember 2011

NEGARA DAN USAHA BINA NEGARA DI JAWA MASA LAMPAU


Buku “ negara dan usaha bina negara di jawa masa lampau” ini menguraikan mengenai syarat-syarat seseorang untuk menduduki tampuk kepemimpinan dalam sebuah negara. Selain itu juga menguraikan hubungan yang seharusnya terjadi antara rakyat dan penguasa yang dalam buku ini disebut sebagai kawulo lan gusti. Hubungan ini digambarkan dalam perumpamaan yang telah dijelaskan dalam buku ini. Seperti hubungan seorang singa dengan hutan, di sini hutan diumpamakan sebagai rakyat yang tersusun secara rapat dan singa diumpamakan sebagai raja. Apabila dalam sebuah ekosistem alam tersebut terjadi ketidakseimbangan karena salah satu dari bagian ekosistem itu hilang, maka yang lain tidak akan berfungsi dengan baik. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa seorang raja apabila tidak ada rakyat maka kekuasaan yang ada di tangannya tidak akan berguna. Perumpamaan-perumpamaan ini terwujud dalam suatu sikap masyarakat yang digambarkan dalam suatu simbol. Memang dalam masyarakat jawa memiliki simbol-simbol dalam kehidupan yang dapat dilihat buktinya sampai sekarang meskipun pada masa sekarang simbol-simbol tersebut tidak lagi kentara, karena telah tersingkirkan oleh budaya-budaya baru dan posisi agama Islam yang agaknya mengurangai dominasi budaya-budaya jawa yang diangggap syirik. Seperti yang diungkapkan Budiono Herusatoto dalam bukunya “Simbolisme Dalam Budaya Jawa”, yang dalam edisi revisi berjudul Simbolisme Budaya Jawa. Dalam buku itu disebutkan bahwa aturan-aturan kehidupan orang-orang jawa itu tercantum dalam simbol-simbol yang ada dalam masyarakat
Buku ini adalah gambaran mengenai kondisi kepemimpinan pada masa Mataram II, yaitu Mataram Islam. Hubungan antara rakyat dengan raja digambarkan dalam Bab kedua secara rinci yang diuraikan dalam berbagai macam contoh mengenai seorang raja yang harus memiliki syarat dan sifat tertentu agar bisa menjadi raja yang disegani dan dipatuhi oleh rakyatnya. Konsep kawulo-gusti itu merupakan takdir yang telah tersurat dan tidak bisa ditolak. Kelahiran seseorang di dunia ini tidak bisa mengubah status dari seorang kawulo menjadi gusti, karena status tersebut telah ditakdirkan oleh Tuhan menurut dimana ia dilahirkan. Jika seseorang itu lahir ditengah-tengah masyarakat biasa maka kedudukannya akan menjadi seorang rakyat, begitu pula sebaliknya. Namun kedua posisi tersebut tetap memiliki hubungan yang erat dan memiliki tingkatan. Dalam posisi sosial masyarakat jawa memiliki hubungan yang unik, terutama terkait dengan hubungan kawulo dan gusti. Kedua status dalam masyarakat ini memiliki perbedaan-perbedaan, terutama terlihat pada penggunaan pakaian, bahasa sehari-hari- dibedakan menjadi kromo inggil, kromo, madyo, dan ngoko. Jenis-jenis bahasa itu digunakan masyarakat jawa dalam aturan-aturan tersendiri yang telah tertanam dalam diri setiap anggota masyarakat. Penggunaan bahasa tersebut menurut tingkatan status seseorang dalam masyarakat yang berfungsi pula sebagai penghormatan terhadap yang lebih tua maupun yang lebih muda, bila dilihat pada kondisi masyarakat sekarang. Namun penggunaan tingkatan bahas tersebut pada masa sekarang tidak lagi banyak diterapkan dalam masyarakat modern yang sedikit lebih banyak meninggalkan budaya-badaya leluhur.
Mengenai takdir seseorang untuk tumbuh menjadi seorang penguasa berdasarkan takdir yang tidak bisa diubah, dalam buku ini diceritakan yang merupakan kisah yang ada dalam Babad Tanah Jawi, bahwa keturunan Mataram II berasal dari Ki Ageng Sela yang rutin bersemadi agar garis keturunannya dapat menjadi pemegang kekuasaan pulau ini.
Konsep kawulo gusti dalam buku ini digambarkan dalam beberapa contoh, yang tersebut di atas adalah hubungan antara singa dengan hutan, selain itu ada pula gambaran lain mengenai konsep ini yaitu keris dan wadahnya. Di sini keris sebagai raja yang memiliki mata untuk melihat dan wadahnya diumpamakan sebagai rakyat yang melindungi raja. Ada perumpamaan lain yaitu cincin dengan matanya, mata cincin digambarkan sebagai raja dan lingkarannya adalah sebagai rakyat yang memiliki hubungan atau sebagai pengikat tali kekeluargaan antara raja dengan rakyat. Simbol-simbol lain yang mengenai hubungan kedua golongan ini digambarkan dalam pewayangan. Hubungan antara Semar dan putra-putranya, yaitu Gareng, Petruk dan Bagong, adalah abdi raja yang bertugas untuk menasihati raja. Ke empat tokoh pewayangan ini memiliki watak yang berbeda-beda. Ini menggambarkan kondisi pada masyarakat bahwa dalam masyarakat itu terdapat manusia yang memiliki sifat yang berbeda-beda. Dalam buku ini dijelaskan ketiga anak Semar ini merupakan gambaran suatu masa, yaitu masa lalu, sekarang dan akan datang. Hubungan keluarga ini, atau yang biasa disebut Punokawan, dengan raja sangatlah erat, yaitu sebagai abdi kerajaan yang setia dan patuh terhadap peraturan raja.
Mengenai konsep raja dalam sebuah masyarakat yang berlandaskan agama dalam buku ini terdapat dua versi yaitu, versi Hiindu dan versi Islam. Versi Hindu beranggapan bahwa raja itu adalah titisan para dewa yang memiliki kekuasaan penuh terhadap wiyalah yang diperintah dan rakyat harus mematuhi setiap aturan yang dikeluarkan oleh raja, sebab perintah raja dianggap sebagai perintah dewa. Seorang raja dalam konsep Hindu haruslah memiliki sifat menyerupai para dewa atau bahkan sama denga dewa dan dapat diartikan bahwa raja disamakan dengan Tuhan. Dalam konsep Islam anggapan seperti itu dibantah, sebab dalam Islam, raja adalah kalipatullah. Yang berarti adalah kalifah Allah yang diturunkan di bumi untuk memelihara perdamaian. Seorang raja dalam konsep Islam harus memiliki ciri khas tertentu hingga bisa disebut sebagai wali Tuhan. Di sini raja berperan sebagai perantara antara rakyat dan Tuhan, begitupun sebaliknya. Jadi setiap kehendak raja harus berdasarkan landasan ajaran Tuhan, apabila tidak maka dianggap ingkar. Tugas utama raja adalah menjaga perdamaian jangan sampai ada muncul gangguan dan memulihkan keadaan apabila telah terjadi gangguan.
Di saat menjadi raja hendaklah memiliki sifat wicaksana atau bijaksana. Yaitu suatu sikap yang harus dimiliki oleh diri setiap raja agar disegani para rakyatnya. Bijaksana adalah sikap yang bertanggungjawab terhadap rakyatnya, dapat bersikap adil dalam menyelesaikam suatu permasalahan. Dalam kamus jawa kata wicaksana memiliki arti bijaksana, berpengalaman, tampil, cerdas dan berpandangan jernih. Sikap yang dimiliki raja adalah kewiicaksanaan  menyatakan ketrampilam tertinggi dalam memutuskan suatu permasalahan. Sifat lain yang harus dimiliki oleh raja adalah sifat yang tertanam dalam astabrata. Yaitu sifat yang dimiliki oleh dewa-dewa dalam pantheon Hindu. Empat sifat awal adalah keempat mata angin utama dan keempat yang kedua arah mata angin yang terdapat diantara keempat mata angin utama yang berfungsi sebagai pelengkap.
Kedudukan seorang raja dalam masyarakat jawa, seorang raja harus memiliki garis keturunan yang pasti dan baik. Kepercayaan seperti ini sepertinya terpengaruh oleh tradisi Arab, misalnya fulan bin fulan bin fulan dan seterusnya. Maka tidak dapat terelakkan bahwa pembohongan dalam penulisan sejarah keturunan raja-raja adalah suatu yang biasa untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Dalam kepercayaan Hindu keturunan raja adalah keputusan yang telah mendapat persetujuan dari para dewa. Dalam keagamaan, pengetahuan raja dalam hal ini merupakan suatu yang penting. Keaadaan sifat seorang raja adalah cerminan kondisi masyarakat, sebab sifat raja juga meresap dalam masyarakat.
Penjelasan di atas adalah gambaran mengenai konsep raja dan rakyat yang digambarkan dalam simbol-simbol yang terdapat dalam masyarakat. Simbol yang berupa kebendaan adalah gambaran utama dalam penjelasan diatas. Namun simbol-simbol itu juga kadang tercermin dalam sikap atau perilaku-perilaku masyarakat. Kemudian dalam bab berikutnya akan dijelaskan mengenai struktur birokrasi dalam sebuah kerajaan.
Pada bab ketiga ini pengarang menjelaskan bagaimana kedudukan raja, orang-orang terdekat raja yang membantu dalam menjalankan pemerintahan yang biasa membantu raja dalam menyelesaikan masalah yang muncul dalam masyarakat dan berperan membantu raja dalam mengurus wilayah yang berada di luar jangkauannya, mereka adalah para priyayi. Keadaan wilayah yang terbagi-bagi dalam pemerintahan-pemerintahan kecil juga mendapat tempat dalam pembahasan bab ini.
Kedudukan priyayi dalam pemerintahan seorang raja adalah penting, bisa disebut mereka adalah kaki tangan dari raja. Mereka bertugas mengurus semua kondisi dalam suatu wilayah kerajaan. Mereka adalah mata dari raja yang bersedia mengawasi keadaan kerajaan. Seorang priyayi dalam kehidupannya memiliki aturan yang harus mereka lewati dalam tiga tahap masa kehidupannya. Pada saat muda seorang priyayi harus belajar, saat dewasa ia harus mengabdi pada raja dan pada saat tua ia harus mementingkan rohaninya, yaitu belajar agama dengan sunggu-sungguh agar mencapai titik tertinggi dalam kehidupan seseorang dalam pemahamannya tentang agama. Konsep bahwa kedudukan seseorang itu adalah takdir, maka kadang terjadi penyelewengan. Para priyayi kadang melakukan penindasan terhadap rakyat terutama terlihat pada saat penarikan pajak. Selain itu dalam bab ini juga dijelaskan mengenai kedudukan suatu daerah dalam sebuah kekuasaan kerajaan dan konsep pemerintahan yang terdapat di daerah-daerah. Pada permasalahan ini wilayah kerajaan terbagi dalam dua wilayah yaitu Negaragung dan mancanegara. Kedua daerah ini adalah pembagian yang biasa dalam suatu kerajaan yang menandakan letak dari suatu daerah. Daerah mancanegara dipimpin oleh seorang bupati yang menguasai wilayah tersebut. Hubungan antara penguasa daerah dengan penguasa pusat haruslah erat dan terjadi suatu kesepakatan dalam hal peraturan pemerintah. Jika tidak maka akan muncul permasalahan diantara keduanya. Seperti munculnya banyak pemberontakan-pemberontakan yang dilancarkan oleh para bupati karena tidak sepakat dengan aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kerajaan. Mengenai hubungan raja dengan penguasa daerah adalah bersifat vertikal. Seorang bupati adalah abdi dari raja yang harus tunduk pada perintah raja. Sedangkan hubungan antara para bupati daerah secara administratif bersifat horisontal, yaitu kedudukannya sama dihadapan raja, maka kondisi seperti ini dapat menimbulkan permasalahan tersendiri bagi kondisi keamanan kerajaan. Seorang bupati dapat menyerang seorang bupati daerah lain yang kemudian wilayah dari bupati yang kalah tersebut menjadi bagian dari wilayah kekuasaan bupati menyerang itu.
Dalam mendapatkan suatu daerah kekuasaan baru seorang raja punya cara tersendiri yang terbagi menjadi tiga. Yaitu dengan menggunakan kekerasan atau peperangan, memaksa orang yang berpengaruh pada suatu wilayah untuk tinggal dalam istana untuk jangka waktu tertentu sementara daerahnya dibiarkan untuk diurus oleh pejabat kraton, serta cara yang ketiga adalah menjalin persekutuan dengan perkawinan. Dengan cara-cara tersebutlah suatu kerajaan dapat memperluas wilayah kerajaannya.
Pada bab berikutnya dibahas mengenai pendapatan kerajaan yang berasal dari penarikan pajak dan pengelolaan dilakukan oleh pejabat kerajaan. Pajak diambil dari hasil bea dan cukai serta hasil bumi. Bentuk terakhir adalah bentuk awal dari pajak, sebab pada awalnya kerajaan Mataram adalah kerajaan agraris yang mengandalkan pendapatan negara dari hasil pertanian. Dalam mendapatkan pengahsilan itu, kerajaan mengandalkan tenaga dari petani, semua pekerjaan kerajaan yang bersifat besar menggunakan tenaga rakyat yang sebagian besar adalah petani. Mulai dari membuat jalan, mengangkut hasil pertanian ke kota, menjadi pelayan bangsawan hingga menjadi pasukan perang untuk raja. Jadi apabila sebuah kerajaan mendapatkan daerah takluk baru yang memilki jumlah pneduduk yang padat adalah sebuah keberuntungan. Sementara itu untuk perpajakan yang ada di pesisir diwujudkan dalam bentuk bea cukai yang ditujukan kepada para pedagang yang masuk ke wilayah kerajaan. Pengurus bea cukai ini diserahkan kepada orang-orang cina.
Dalam bab ini pula dijelaskan mengenai pengerahan tenaga rakyat. Pengerahan tenaga rakyat diperuntukan untuk pengerjaan sarana kerajaan yang bersifat umum maupun khusus. Seperti yang tersebut diatas, rakyat dimanfaatkan oleh raja dan bangsawan dalam berbagai hal. Umumnya mereka adalah orang-orang tidak memiliki tanah yang luas, namun setelah Belanda menerapakam sistem Cultursteelse, pengerahan rakyat untuk kerja rodi juga mencakup mereka yang memiliki tanah. Dalam aturan sepert itu tentulah ada segolongan rakyat yang tidak setuju dengan aturan yang diterapkan oleh raja, maka dalam kondisi tertentu timbullah pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat. Pada abad 19 dan 20 muncul pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah yang mengatasnamakan agama. Selain itu ada bentuk penolakan lain terhadap perlakuan raja, yaitu dengan melarikan diri ke daerah-daerah yang sulit untuk dijangkau agar mereka terlepas dari tuntutan raja.
Tulisan di atas adalah sedikit gambaran mengenai buku ini. Buku yang merupakan tulisan dari Soemarsaid Moertono adalah penjelasan menganai kedudukan raja dalam suatu susunan masyarakat dan kedudukan rakyat dalam sebuah susunan kerajaan. Penggambaran mengenai hubungan keduanya dalam buku ini sangatlah penuh dengan penelaahan simbol-simbol kebendaan. Penjelasan yang begitu detail dan disangkut-pautkan dengan peristiwa-peristiwa yang telah lalu adalah ciri khas buku ini. Penjelasan mengenai konsep-konsep kemaharajaan tidaklah menjadi pokok pembahasan buku ini, namun sedikit dari konsep-konsep itu adalah menjadi bagian sebab adanya penjelasan mengenai anggapan kedudukan raja sebagai suatu yang sakral yang penuh dengan syarat-syarat tertentu.
 Penjelasan menngenai simbol-simbol mengenai hubungan rakyat dan raja adalah sedikit gambaran mengenai banyaknya simbol yang terdapat dalam masyarakat jawa. Gambaran lebih lengkap mengenai pembahasn simbol-simbiol yang ada dalam masyarakat jawa dapat dilihat dalam buku “simbolisme dalam budaya jawa “ karangan Budiono Herusatoto. Namun penggunaan bahasa simbolik dalam buku ini sepertinya menimbulkan masalah sendiri dan penjelasan secara rinci yang disangkut-pautkan dengan kejadian-kejadian pada massa lampau kadang membuat pembaca bingung dalam memahami isi buku ini, meskipun sepertinya buku ini menggunakan bahasa yang enak untuk dipahami.
 Dalam penulisan buku ini pengarang menggunakan tinjauan sosial baudaya. Ini terlihat dalam penjelasannya yang menggunakan simbol-simbol yang terdapat dalam masyarakat jawa untuk menjelaskan kondisi-kondisi tertentu dalam sebuah kerajaan. Serta dalam masalah soaial dapat dilihat pada penjelasannya mengenai kondisi mayarakat yang terdapat dalam kerajaan mataram. Permasalahan-permasalahan yang muncul dari respon ketidakadilan penguasa adalah salah satu contohnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar