Total Tayangan Halaman

Minggu, 11 Desember 2011

POLITIK MILITER PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

Di depan para pemimpin partai dan tokoh masyarakat, pada tanggal 21 Februari 1957 di Istana Negara, Bung Karno menguraikan apa yang dimaksud dengan “Konsepsi Presiden”. Beliau mengatakan, “Untuk mengatasi kesukaran-kesukaran yang kita hadapi sampai pada waktu ini, perlu sekali sistem pemerintahan yang berlaku sekarang dihapuskan dan diganti dengan suatu sistem yang berlaku bagi bangsa Indonesia. Sebab demokrasi yang sampai saat ini kita anut, adalah demokrasi dari barat yang tidak cocok dengan jiwa bangsa kita.
Terutama tidak seusai dengan kondisi sosial masyarakat kita, yang sifatnya masih majemuk. Tradisisonal, setengah feodal dan sebagian besar berpendidikan rendah, bahkan masih besar jumlah yang buta huruf. Oleh karena itu kita harus kembali kepada demokrasi Indonesia yang berdasarkan atas gotong royong.
Sehubungan dengan itu Bung Karno mendesak supaya dibentuk suatu kabinet Gotong Royong. Kabinet semacam itu oleh Bung Karno, dengan menggunakan bahasa Belanda (yang artinya) “semua anak makan bersama semeja, dan kerja bersama semeja pula”. Maksudnya juga akan mengikutsertakan PKI, yang barusan memenangkan 6 juta suara dalam pemilu 1955 yang baru berlalu.
Pada tanggal 2 Maret 1957 Letkol Ventje Sumual, Panglima TT Indonesia timur, mengumumkan SOB bagi seluruh wilayah di bawah pimpinannya dan Lektol Saleh Lahade, Kepala Stafnya, mengumumkan piagam perjuangan semesta (PERMESTA). PERMESTA menuntut supaya 70 % dari anggota dewan nasional, terdiri dari wakil-wakil daerah sebagai senat.
Dinas Penerangan AD pada tanggal 20 Mei 1958 mengeluarkan suatu brosur, berisi tuduhan terhadap Kolonel Zulkifli Lubis sebagai biang keladi separatis PRRI dan PERMESTA. Tuduhan-tuduhan berdasarkan dokumen-dokumen rahasia yang dapat dirampas dari sekretaris Zulkifli Lubis, seorang yang bernama Sastra yang ditangkap di Pandeglang. Dokumen bertanggal 9 Juni 1957 itu menguraikan gagasan-gagasan dan catatan Zulkifli Lubis, untuk menentang konsepsi Presiden.
Presiden membuat konsep keputusan, yaitu memberhentikan KASAD Mayjen. A. H. Nasution dan wakilnya Kolonel Gatot Subroto. Adapun gantinya akan diangkat Kolonel Abimanyu sebagai KASAD dan Kolonel Mokoginta sebagai wakil. KMKB (Komando Militer Kota Besar)-DR (Djakarta Raja) (Kodam V Jaya) dipisahkan dari TT (Tentara dan Teritorium) III kemudian berdiri sendiri.
Dalam keputusannya Presiden Soekarno juga akan memberhentikan Kolonel Kosasih sebagai Panglima TT III SLW, Overste Lukman sebagai KMKB Bandung, Overste Dahjar sebagai KMKB DR dan Mayjen Marsudi sebagai Kepala Staf. Serta menunjuk Kolonel Akil sebagai Panglima TT III SLW dan Overste Umar sebagai Kepala Staf.
Overste Nasuhi sebagai komandan KMKB DR dan Mayor Bahari Efendi sebagai. Overste Rusli sebagai Komandan CPM digantikan oleh Mayor Bowo. Telah dibuat pula pengumuman-pengumuman Presiden apabila rencana berhasil.
Dibuat pula suatu pemerintahan bayangan terdiri dari suatu presidium 3 atau 4 orang. Dengan susunan kabinet sebagai berikut : Menlu Mukarto, Sudjarwo atau Mayjen Simatupang. Menhan Kolonel Simbolon, Pemerintahan Umum, Kehakiman dan Polri Mr. Burhanudin Harahap dengan sekjennya Kolonel Sapari.
Pembangunan Mr. Imron Rosjidi dengan sekjennya Kolonel Dahlan Djambek. Keuangan Dr. Sumitro dengan sekjennya Letkol. Djuhro. Perindustrian Hasjim Ning dengan sekjen Kolonel Taswin, serta mobilisasi tenaga kerja Mr. Gatot dan sekjennya Mayor Koesnowibowo dan komandan CPM Jaya adalah Kapten Adisuro.   
 Kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh karena menghadapi kemelut tersebut. Dibentuklah kabinet Ekstra Parlementer di bawah pimpinan Djuanda. Djuanda mengadakan Musyawarah Nasional pada tanggal 10 September 1957. Tetapi sebelum itu, Kolonel Zulkifli Lubis telah menyelenggarakan suatu pertemuan persiapan dengan 3 Panglima, yaitu Letkol Achmad Husein dari Sumatera Barat, Letkol Sumual dari Sulawesi dan Letkol Barlian dari Sriwijaya di Palembang.
Pada perkembangan yang terjadi di pemerintahan membuktikan, bahwa Bung Karno menolak kembalinya Dwitunggal dengan Hatta, serta bersikeras menjalankan konsepsinya secara konsekuen, yang pada hakekatnya sudah ia cetuskan sejak mudanya. Yaitu pengalaman semua kekuatan progresif-revolusioner menuju sosialisme Indonesia (Marxisme yang diterapkan di Indonesia). Komunis semakin mendapatkan angin.
Konsepsi Zulkifli Lubis itu mengatakan, “Walaupun daerah-daerah telah rata-rata (tanpa kecuali) menyatakan bahwa golongan dan aliran komunis adalah membahayakan negara dan bangsa, karena bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi Negara, namun pusat dan pimpinan munas tidak meladeni bahkan membiarkan pengaruh anti-Tuhan dan anti-Kebangsaan, yang pada hakekatnya menganut sistem diktatur dan internasionalisme serta penjajahan total itu bersimaharajalela terus, hingga lupa bahwa hal ini akan menyeret kita kearah tragedi nasional.
Pada tanggal 15 Februari 1958, PRRI diproklamasikan di Padang. Dihadiri antara lain oleh Kolonel Dahlan Djambek, Letko Achmad Husein, Kolonel Simbolon, Mr. Burhanudin Harahap, Sjafrudin Prawiranegara. Presiden Soekarno mengungkapkan bahwa ia merasa ditampar mukanya. Tetapi berjalan terus, ia memerintahkan ABRI melancarkan operasi terhadap PRRI-PERMESTA yang dituduh separatis. Kolonel A. Yani dari “Banteng Raiders” pemimpin operasi “17 Agustus” ke Sumatra. Kolonel Djattikusumo beroperasi di Medan.
Hanya dengan gertak semua karyawan sipil dan lain sebagainya diberi pakaian loreng. Dinaikkan ke dalam truk mondar-mandir, hingga Mayor Boike Nainggolan dari batalyon kebanggaan TT I menjadi agak giris melihatnya.
Dengan suksesnya kampanye militer di Sumatra dan Sulawesi, sekali lagi membuktikan bahwa ABRI tak akan bisa menumpas pemberontakan di luar Jawa karena alas an kesulitan logistic dan pengangkutan. Armada combat-intellijen di bawah pimpinan Letkol. Magenda, berangkat dari Surabaya dengan 120 perahu layar.
Kolonel Rukminto dengan 4 batalyon dari Brawidjaja mendarat di Bitung kemudian bergabung dengan pasukan Magenda dari utara, terus menyerbu Manado. Manado jatuh ke tangan ABRI hanya dalam hitungan hari, sekalipun perlawanan pasukan PERMESTA yang lengkap persenjataannya cukup lumayan.
Pagi hari berikutnya pesawat terbang asing gagal mendaratkan bantuan senjata kepada PRRI. Pesawat terbang “petualangan” yang dipiloti Allan Pope, kemudian tertembak jatuh di perairan Ambon. Pope ditawan, tetapi kelak ia dibebaskan diam-diam tepatnya tanggal 2 Juli 1962. Pemberontakan ini memberi angin segar kepada PKI untuk kampanye anti-imperialis AS. Pada tanggal 1 Mei 1958 PKI mengirim telegram kepada dubes Jones, dan tiga hari kemudian melancarkan demonstrasi massa mengutuk campur tangan kaum imperialis dalam urusan dalam negeri.
Presiden Soekarno pada tanggal 2 Mei memberi peringatan kepada AS “untuk tidak main api”, dan menuduhnya dengan demikian justru AS mendorong Indonesia untuk lebih dekat terhadap komunis. Padahal ia sudah terlalu dekat dengan kaum komunis.
Bulan Oktober 1960 Presiden Soekarno berangkat ke AS untuk menghadiri Sidang Umum PBB yang akan membicarakan topik Irian Barat. Dalam perjalanan ini Jenderal A. H. Nasution dan D. N. Aidit diikutsertakan. Pada kesempatan kunjungan itu Jenderal A. H. Nasution  meminta bantuan senjata kepada AS yang ditolak. Kepada AS Bung Karno meneriakkan “go to hell with your aid”.
Kemudian Nasution pergi ke Moskow pada tanggal 16 Januari 1961. Soviet menyanggupi kredit untuk pembelian senjata. Antara lain, kapal perang, pesawat udara, dan roket darat ke udara, begitupun kendaraan-kendaraan. Bantuan kredit ini meliputi jumlah lebih dari 2 miliar dolar AS.
Pengiriman senjata Uni Soviet mulai datang di Indonesia pada tanggal 28 November 1961. Pada tanggal 26 November 1961 diadakan pemungutan suara di Sidang Umum PBB. Indonesia mengumpulkan 41 suara pro, 40 kontra dan 21 abstain. Sedang blok “Brazaville” mengumpulkan 53 pro, 41 kontra dan 9 abstain. Geram Presiden Soekarno, mengatakn “Saya  akan memberi komando, kalau sampai terjadi peperangan, itu adalah tanggung jawab Belanda sendiri.”
Issue Nasakom sempat menghebohkan masyarakat. PKI menafsirkannya atau memanipulasikannya sebagai fisik, seperti kue lapis merah-putih-hijau. Karena ia lantas menuntut  sepertigadari jatah kedudukan pada aparatur Negara. Termasuk ABRI. Dikatan, bahwa Nasakom adalah perasaan Pancasila.
Panglima AD Jenderal A. Yani melihat gelagat kurang enak itu namun harus tanpa reserve terhadap Presiden Soekarno, lantas menafsirkan sebagai “Nasakom jiwaku” dalam pengertian memang demikian jiwa kita, nasionalis, religius dan revolusioner ; maksud sebenarnya menolak Nasakom.
Partai-partai juga masih menganut ideologi masing-masing, namun tak saling menyerang. Sayuti Melik membuat tafsiran lain, yaitu NASASOS (Nasionalis, Agama dan Sosialisme). Presiden Soekarno tampaknya membiarkan orang membuat interpretasi sendiri tentang NASAKOM. Buktinya beliau tidak menguraikan secara mendetail. Hanya beliau katakana, bahwa dirinya merupakan perasaan NASAKOM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar